Saturday 3 August 2013

'Iklan' di Tengah Tayangan Adzan

Hari ini, saya benar-benar baru 'ngeh' kalau ada iklan di tengah tayangan adzan.
sebenarnya saya sendiri kurang mengerti 'hukumnya' bagaimana, apakah memang di perbolehkan (sah-sah saja) atau apakah itu merupakan bentuk pelanggaran? *pelanggaran kode etik penyiaran?

memangnya tayangan adzan di stasiun televisi mana sih?
hmm saya sebutkan langsung saja ya biar tidak bertele-tele.
Yaitu tayangan adzan di salah satu stasiun televisi swasta - SCTV.

dan untuk memudahkan memahami maksud saya, Saya sebut saja itu tayangan adzan SCTV edisi 2013 khususnya bulan ramadhan ya. Semoga penasaran dan mencari tahu sendiri :D

Sunday 21 July 2013

inkonsistensi

untuk menjadikan kehidupan sesuai dengan harapan baik kita, tentulah konsistensi sangat dibutuhkan. ya, Konsistensi! sesuatu yang dapat dengan mudah di jabarkan, di konsepkan, tapi tidak mudah untuk di laksanakan.

hmm.. begini ceritanya. Konsep dari pembuatan blog ini adalah untuk berbagi tugas-tugas kuliah, atau hal-hal seputar dunia jurnalistik yang saya ketahui selama menjalani perkuliahan - titik, itu saja. Melalui blog ini, saya berharap dapat menjadi semacam 'pendidikan' dan 'pengabdian' kepada masyarakat, meski hanya sekedar masyarakat ruang maya (cyberspace) yang mungkin 'abstrak' dengan 'daya jangkau' blog saya saya yang terbats. 

eh tapi kenyataanya, ketika saya mereview posting di blog ini, lagi-lagi saya malu sendiri. Saya tidak menggunakannya dengan konsisten. blog ini tidak sepenuhnya berisi "Hanya untuk tugas-tugas kuliah, atau hal-hal seputar dunia jurnalistik yang saya ketahui selama menjalani perkuliahan", melainkan masih tetap juga saya jadikan  blog ini sebagai  media untuk curhat hal-hal yang sebenernya sih di simpen di ruang privat aja.

inkonsitensi -____-
hmm..
semangat lagi fika!!

Friday 5 July 2013

Korban Bencana, Korban Media


Ketika Media Mengorbankan Korban Bencana

Seperti yang kita ketahui, pada Selasa 2 Juli 2013 lalu, Gempa bumi berkekuatan 6,2 skala richter kembali mengguncang tanah Aceh. Aceh kembali berduka, dan dalam peristiwa tersebut media massa berkontribusi positif karena memberitakan suatu peristiwa penting secara aktual kepada masyarakat luas.
Keberadaan media memang sangat di butuhkan, oleh karenanya media tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat yang hidup di abad ke 20 ini. Melalui keberadaan media (massa), manusia yang memiliki keterbatasan jangkauan alat indra, dapat mengetahui lebih banyak hal di luar jangkauan ruang dan waktunya. Oleh karenanya, media pada dasarnya merupakan perpanjangan alat indra manusia. Radio yang sifatnya audio, merupakan perpanjangan dari indra pendengaran atau telinga, dan media cetak yang bersifat visual merupakan perpanjangan dari indra mata sebagai indra penglihatan. Kemudian munculnya televisi serta kecanggihan internet dengan sifatnya yang interaktif karena dapat menampilkan pesan berupa rangsangan audio dan visual sekaligus, semakin mengukuhkan posisi media sebagai perpanjangan indra manusia. Media di tuntut peka, kritis dan tanggap untuk memberitakan suatu kejadian penting, mulai dari acara seremonial, terlebih memberitakan peristiwa bencana.
Namun di samping berbagai kontribusi positif yang dirasakan oleh masyarakat berkat keberadaan media, media juga melakukan kerap melakukan kelalaian. Dalam tayangan berita di sebuah stasiun televisi swasta, kamis – 4 Juli 2013 kemarin, tampak seorang reporter yang bertugas meliput bencana di tanah Aceh pasca bencana Gempa bumi berkekuatan … skala richter yang kembali mengguncang Aceh sedang mewawancari seorang korban bencana. Sosok korban tersebut adalah seorang bapak, wawancara di lakukan dengan setting puing-puing bangunan yang sudah rata dengan tanah.
Dalam dialog wawancara tersebut, sang reporter menanyakan mengenai kronologis kejadian bencana gempa yang berlangsung di awasan tersebut. Si Bapak yang merupakan korban pun bersedia menceritakannya. Pada awalnya, pemaparan tersebut terkesan tenang. Lalu sampailah hingga si bapak tersebut mengatakan bahwa purtrinya menjadi korban, yaitu tertutupi oleh puing-puing bangunan rumahnya. Di saat demikian, si bapak korban tersebut langsung merasakan haru. Ia tidak kuasa menahan air matanya, sebagai ekpresi kesedihannya. Dan bapak tersebut mengatakan “sudah saya tidak kuasa menceritakannya lagi” dengan di selingi bahasa daerah Aceh. Tapi reporter yang mewawancarainya tersebut langsung mengganti topik pertanyaan. Dan lagi-lagi untuk pertanyaan yang di harapkan berupa deskripsi dari korban tersebut, korban kembali menyatakan kalau ia tidak lagi mampu berkata-kata. Sang Reporter lagi-lagi seakan tidak memperdulikan keadan psikologis orang yang sedang di wawancarainya tersebut.
Ketika melihat adegan dalam tayangan berita di layar kaca televisi tersebut, saya langsung teringat pada kriteria Dosa-dosa Media yang di paparkan seorang wartawan senior bernama Ahmad Arif dalam bukunnya yang berjudul “Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme”. Buku tersebut menceritakan mengenai sekelumit peristiwa jurnalisme pada bencana tsunami Aceh yang melanda 26 Desember 2006 lalu.
Berdasarkan pengalamannya, Ahmad Arif menuturkan bahwa suatu aktifitas jurnalistik yang tidak pada tempat dan porsinya justru dapat menimbulkan bencana di tengah bencana yang sedang terjadi. Bencana Jurnalisme tersebut di istilahkan Ahmad Arif dengan istilah Dosa Media. Dosa media dalam sebuah bencana, salah satunya yaitu seorang wartawan tidak jarang mencecar korban bencana yang berstatus sebagai sumber berita dengan berbondong pertanyaan-pertanyaan tanpa rasa empati terhadap korban yang jelas-jelas sedang berada dalam kesusahan dan kesedihan.
Lebih lanjut ia memaparkan pertanyaan kritis, atau bahkan jangan-jangan itulah pesan sang produser kepada sang reporter, yaitu mendesak agar narasumber sampai menangis, bahkan harus sampai meraung-raung demi untuk mengejar efek dramatis ?.
Selama ini, berita tanpa kesedihan dapat dikatakan sebagai “berita buruk” bagi para jurnalis. Sebaliknya, berita yang sarat dengan air mata dan darah, telah menjadi “berita baik” bagi para pelaku media karena tema tersebut dipercaya sangat laris dijual. Bad news is good news.
Kemudian Ahmad Arif mengajak pembaca untuk membaca lebih mendalam mengenai pengalamannya saat mencoba mengorek informasi dari  Nurleli, seorang korban tsunami Aceh yang harus mengalami cacat karena kakinya harus diamputasi. Saat itu Nurleli tidak ingin di wawancara, karena ia merasakan capek selalu di cecar dengan pertanyaan wartawan sementara hidupnya sendiri tidak banyak berubah.
Pengalamannya tersebut menyadarkan Ahmad Arief bahwa korban bencana bisa sekaligus menjadi korban media jika wartawan kehilangan rasa hormat kepada narasumbernya, dan hanya menganggap mereka sebagai objek peliputan semata.
Berdasarkan hal tersebut, kemudian dapat disimpulkan bahwa apa yang di tayangkan dalam pemberitaan sebuah stasiun televisi swasta 4 juli 2013, kemarin merupakan salah satu bentuk dosa media. Jangan sampai aktifitas jurnalistik menjadi bencana di tengah bencana.

Wednesday 5 June 2013

Kampung Naga


Setelah riset lapangan ke Gunung Padang di beberapa minggu sebelumnya, kami kemudian memutuskan untuk mengganti tema gunung padang, menjadi Kampung Naga. 




Gunung Padang, Cianjur

Untuk tugas mata Kuliah Jurnalisme Film, kelompok kami, memiliki konsep untuk mengangkat tema Gunung Padang. Setelah berbagai perencanaan pada rapat-rapat nonformal, akhirnya tiba waktunya  bagi kami untuk eksekusi ke lapangan. haha yaitu mulai survey ke lapangan, dan mengambil beberapa stock gambar.




Wednesday 10 April 2013

Memori Media Literasi "Cerdas Tayangan Anak"

Tugas Akhir mata kuliah media Literasi dengan dosen Pengampu Ibu Rita Gani adalah harus membuat semacam event penyuluhan kepada masyarakat mengenai Literasi Media. Target penyuluhannya sendiri bisa kepada anak-anak SD, hingga Mahasiswa perguruan tinggi. Selain lembaga formal seperti lembaga pendidikan tersebut, bisa juga dilakukan pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), panti asuhan, dan lain-lain. Intinya kepada masyarakat di luar lingkungan kampus Unisba. Materi penyuluhannya meliputi media-media berbasis teknologi. Boleh mengangkat tema seputar media Televisi, Internet (online), film, games, dan lain sebagainya. dan untuk tugas tersebut, kelompok kami, yang terdiri dari saya, Anis, Ifa, Gita, Ananda, memilih untuk mengangkat tema tentang Televisi, dengan Sub Tema Tayangan anak. 

ini merupakan potongan gambar dari dokumentasi video yang kami ambil saat seminar media literasi tersebut berlangsung. kita pribadi, khususnya aku dan Gita berasanya udah mengabdi banget buat negara, haha padahal ini sama sekali belum belum ada apa-apa. dasar ya..




















Setelah selesai lomba mewarnai, acara dilanjutkan dengan pemaparan materi yang lebih mendetail mengenai tayangan televisi anak kepada para orang tua siswa yang hadir saat itu..
Pemaparan materi tersebut disampaikan oleh Gita dan Teh Ucha (jurnalistik 2009)





Sementara acara pemaparan materi kepada orang tua siswa berlangsung di dalam kelas, 
para siswa kami ajak untuk bermain-main di lapangan sekolah.
Disana kami mencoba untuk melakukan interaksi yang lebih dekat kepada mereka :)










Sunday 7 April 2013

Acta Diurna


Kekerasan Pada Jurnalis


Sekolah Alam

Gara-gara nonton tayangan Si Kabayan dalam STv Bandung, 8 April 2013 kemarin, saya kembali di ingatkan tentang impian atau hasrat mamah dan papah (khususnya mamah) untuk memiliki sekolah Alam. 

Sebelumnya saya sempat mengetahui mengenai impian tersebut. Tapi karena berbagai rutinitas dan inkonsitensi kesadaran didalamnya, sayapun lupa . 

Secara spesifiknya, Impian mereka yakni ingin menjadikan kawasan daerah rumah sebagai sekolah alam yang berdasarkan pada agama dan kearifan lokal. "Nyaah ka alam, Nyakola, Nyunda". hohoho

 mungkin begitulah gambaran mengenai harapan mereka dengan adanya sekolah alam tersebut.

hmm.. tapi memang benar. jika ditinjau lebih jauh, lingkungan sekitar kami memanglah potensial. 
begini deskripsi singkatnya.

Secara akses, jelas kawasan rumah kami sangatlah strategis karena terdapat di pinggir jalan raya (negara) sehingga mudah dijangkau. 
Sementara di kawasan belakang rumah, tanah masih membentang luas, mayoritas di pergunakan untuk berkebun oleh masyarakat setempat. pemandangan di sekitar rumah kami itu sangat indaaaaaah sekali seperti lukisan, dan Gunung Gede nampak gagah menjadi latar belakang lukisan tersebut.
tidak hanya itu, sungai jernih di kawasan bawah perkampungan semakin melengkapi potensi alam dan keindahannya. 

Memikirkan secara mendalam tentang keadaan yang potensial tersebut, munculah optimisme yang cukup menggebu dalam saya. 

Maka, di hari itu juga saya bertekad untuk mulai memperluas pengetahuan mengenai sekolah alam.  Di mulai dengan semakin menambahkan pengetahuan mengenai "Sekolah Alam Bandung", yakni sekolah alam yang tadi siang ditayangkan dalam acara  Si Kabayan (Stv), lalu dengan browsing mencari hal-hal lainnya yang kiranya dapat menunjang dan menambah pengetahuan saya mengenai sekolah alam itu.

Saat bwosing menjelajah dunia maya, dan mulai membaca sedikit demi sedikit tentang seperti apa dan bagaimana secara keseluruhan mengenai sekolah bekonsep alam ,  lantas

wah..  Otak saya ini mulai memproses apa yang sudah saya input, hingga mulai terkonseplah beberapa ide dan rencana untuk pengembangan sekolah alam Impian mamah dan papah. 
Sekolah alam tersebut harus terwujud. itu janji saya!
semoga itu dapat terwujud meski perlahan.
Hari ini baru hari pertama. Perjalanan dan perjuangan mewujudkan mimpi tersebut masih panjang.
Kata-kata itu harus di buktikan, semangaaaaat!

Saturday 6 April 2013

Ini merupakan tulisan pertama ku di bulan April, meski hari ini bukan hari pertama di bulan April. Hari ini bukan tanggal 1, tapi tanggal 7 April.




Sunday 17 March 2013

Mengajar di Grafis

Rabu, 13 Maret 2013 kemarin merupakan pengalaman yang berharga. kenapa? karena itu merupakan kali pertamanya saya resmi mengajar sebagai asisten Lab Grafis Unisba, bersama rekan saya Peun.
:)

Wahyu Aditya dan Pandji, Dua Pemuda Bangsa Penuh Talenta

Jum'at  11 Maret 2013 lalu Mahasiswa Public Relation UNISBA mengadakan Talk Show dan  Bedah Buku. Ada dua pembicara dan ada dua buku yang di bedah dalam acara tersebut. Pembicara yang pertama yaitu seorang creativepreneur muda berbakat bernama Wahyu Aditya dengan bukunya yang berjudul Sila ke 6 : Kreatif Sampai Mati. sedangkan pembicara kedua adalah Mas Panji Pragiwaksono, seorang aktivis muda yang juga kreatif dengan bukunya yang berjudul "Berani Mengubah.

Keduanya pembicara tersebut memiliki karakternya masing-masing. Jika mas Wahyu Aditya terkesan lebih santai atau kalem, berbeda halnya dengan Pandji. Ia sangat atraktif, bahkan mungkin hiperaktif hehe.

hmm.. untuk materi yang di paparkan oleh mas Wahyu Aditya, saya tidak dapat menjelaskan semuanya, sebab saya datang telah ke Aula Unisba, tempat berlangsungnya acara tersebut, karena sebelumnya ada kelas Metode Penelitian Komunikasi dulu yang tidak memungkinkan untuk di tinggalkan.








Saturday 9 March 2013

Cerpen (katanya)


Nama               : Fika Pertiwi
NPM               : 10080010042
Kelas               : A
Mata Kuliah    : Arkurifai Baksin
Genre Tulisan : Cerpen

Bertemunya 2 Mata

Hari ini adalah hari sabtu, kebetulan adalah hari pertama di bulan ini- Maret. Pagi ini, tidak ada rintik hujan, pun tidak ada terik matahari. Yang ada adalah kumpulan awan sendu berwarna pudar, serta hembusan angin yang cukup kencang sehingga mampu membuat pohon-pohon berdiameter tidak terlalu besar menjadi bergoyang seperti akan tumbang.
Seorang wanita paruh baya melihat suasana di luar rumahnya, dari balik kaca jendela. Lalu ia membalikkan badan, dan berjalan ke arah putrinya yang sedang berdandan di depan cermin “kalo bisa jangan kemana-mana Ren, mendung dan banyak angin gitu, nanti kamu sakit”.
“Ngga apa-apa mah, ngga usah khawatir. Apa bedanya sama cuaca cerah yang panas atau cuaca-cuaca lainnya? Kalo emang harus sakit ya sakit aja” jawab Rena sambil tersenyum dan merangkul mamanya. “mama ini kaya ngga tau Rena aja”.
Wanita paruh baya itupun terdiam sejenak. Nampak berpikir sambil menerawang. “justru karena mama tau kamu. ya sering-sering bolos buat pergi kesana di hari sabtu kan ngga akan kenapa-kenapa”
“ngga ah ma, Rena tetep mau pergi. Rena lagi semangat banget nih hari ini!” Rena cengengesan. Matanya berbinar-binar.
 “yaudah deh gimana kamu, tapi hati-hati ya. Jangan lupa jaket tebal, jas hujan, dan payungnya, takut hujan besar. Jangan pulang kesorean!”
“Oke ma! Rena pasti pulang sebelum sore, soalnya harus ngerjain materi buat rapat di kantor lusa.”
Setelah selesai berdandan, Rena segera mengambil tas ransel dan peralatan lainnya yang mungkin nanti akan dia butuhkan. Lalu iapun bergegas pergi.
Karena masih cukup pagi, jalanan didekat rumahnya masih lengang. Terlebih cuaca pagi itu memang tidak cerah, melainkan mendung dan berangin, sehingga membuat kebanyakan orang nampaknya malas untuk melakukan aktivitas di luar  rumah bila memang tidak benar-benar penting, atau bila memang  tidak benar-benar terpaksa.
Namun bagi Rena, cuaca seperti apapun tidaklah masalah. Baginya cuaca cerah yang terik, maupun mendung ber-angin, bahkan cuaca hujan sekalipun tidak akan bisa menghentikannya untuk pergi ke bukit belakang rumahnya tersebut di hari sabtu. Yang bisa menghentikannya, hanyalah jika ia sedang benar-benar memiliki kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan, dan hanya bila dia sedang sakit saja.
Rutinitas berkunjung ke bukit pada setiap hari sabtu tersebut, sudah Rena lakukan semenjak kecil, semenjak ia menemukan bukit tersebut bersama sahabatnya bernama Risa, tepat di hari sabtu. Ketika itu mereka masih bocah kelas 6 SD yang lugu dan senang mencari serta menemukan tempat-tempat baru. Di setiap Sabtu mereka selalu datang ke bukit, dan menghabiskan waktu disana hingga sore. Tapi sayang, Risa meninggal karena sakit saat kelas 2 SMP.
Sebenarnya sesaat sepeninggal Risa, rutinitas Rena berkunjung ke bukit di hari sabtu tersebutpun sempat terhenti selama beberapa bulan. Alasannya karena ia tidak kuasa menahan kesedihan manakala berada di tempat yang penuh dengan kenangan akan kebersamaan bersama Risa. Kala itu, Rena masih belum bisa menerima kenyataan, dan terkurung dalam ketakutan akibat rasa kehilangan. Saat itu jika hari sabtu tiba, Rena memilih menyibukkan dirinya di tempat lain.
Tapi dari rentang waktu beberapa bulan dimana ia tidak pergi ke bukit belakang rumah pada hari sabtu tersebut, ia malah malah merasakan ketersiksaa batin. Seperti ada sesuatu yang hilang, tak lengkap. Perlahan Rena menyadari, bahwa ia rindu datang ke bukit. Saat itu Rena tau bahwa ia tidak perlu (selalu) menghindar dari kesedihan yang disebabkan kenangan indah yang hanya tinggal kenangan. Datang dan pergi merupakan sebuah proses atau kenyataan yang harus diterima. Menyangkal kenyataan dari apa yang sudah ditetapkan oleh yang Maha memiliki, merupakan hal yang membuatnya menjadi lelah dengan diri sendiri.
Akhirnya Renapun kembali sering mengunjungi bukit itu di hari sabtu. Ia belajar untuk kembali menikmati suasana dan pemandangan yang ada disana, selayaknya dahulu ketika bersama sahabatnya –meski tak lagi sama. Dari upaya memaksakan diri agar terbiasa (lagi) tersebut, ternyata Rena  berhasil. Ia menjadi sangat terbiasa pergi ke bukit belakang rumahnya pada hari sabtu. Rutinitas itu perlahan ibarat Ritual untuk merefleksikan kesadaran diri dan introspeksi.
Aktivitas yang kerap ia lakukan disana berupa menggambar, menulis catatan-cacatan sederhana, ataupun juga menikmati buku bacaan kesukaannya sambil mendengarkan alunan musik. Jika disuruh memilih satu yang paling disuka diantara semua kegiatan tersebut, Rena pasti menjawab bahwa menggambar merupakan hal yang paling ia senangi. Terkadang ia menggambar sambil mendengarkan musik berupa instrumen yang mengalun dari ipod nya. Tapi jika sedang bosan, ia juga menggambar sambil mendengarkan musik alam saja. Menikmati apa adanya.

**
Aktivitasnya di bukit pada hari ini, ia rasa sudah cukup. untung ngga hujan, jadi ngga ribet basah-basahan deh. Rena membatin sendiri dalam perjalanan pulang menuju rumah. Ia tersenyum senang.
Rena melangkahkan kaki dengan langkah-langkah yang cepat dan cukup lebar. Ia begitu bersemangat ingin segera tiba dirumah. Agar tidak ribet ketika ingin memperlihatkan hasil karyanya, yang saat itu berupa gambar kepada ibunya, maka Rena tidak memasukkan file-file kertas hasil gambarnya kedalam tas ransel. Ia lebih memilih menjinjing tumpukan hasil karyanya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya penuh, karena harus memegangi payung bertongkat panjang dan jas hujan.
Di persimpangan jalan, tiba-tiba angin berhembus cukup kencang, dan beberapa file-file kertas hasil gambar Rena tiba-tiba melayang terbawa angin.
“ah, gambar-gambarku”
Satu persatu dia memunguti gambarnya yang berserakan di jalanan.
“Nih punya kamu kan?” tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari arah samping Rena. Ia memegang selembar kertas berisi karya gambar Rena. Raut wajahnya nampak serius ketika memperhatikan detil gambar tersebut.
“Oh ia sepertinya..” Rena Nampak kikuk, karena kaget dengan kehadiran suara dan sosok pria tersebut.
“Kenapa kamu suka menggambar?” tanya Pria tersebut tanpa basa-basi, membuat Rena semakin kikuk, kaget, dan ditambah heran.
Ini orang apaan sih tiba-tiba nanya kayak gitu? Rena berkata dalam hati. Ia memperhatikan sosok pria tersebut. Berpakaian rapi dengan kemeja panjang yang digulung sampai  lengan, celana berwarna cokelat tua, dan beberapa buku di tangan kirinya.
Pria tersebut melambai-lambaikan tangan tepat di depan wajah rena, seakan menyadarkan dia untuk segera menjawab pertanyaan yang tadi diajukannya.
 “oh itu, Karena aku senang melihat” jawab Rena singkat, berharap dengan jawaban singkat itu, pria misterius yang nampak seusia dengannya tersebut dapat segera mengembalikan kertas berisi gambar karyanya tersebut, dan berhenti bertanya menyangkut hal yang menurutnya tidak penting ditanyakan oleh orang yang baru bertemu seperti saat itu.
“Kenapa senang melihat?” tanya si pria itu lagi dengan penasaran.
Rena menatap mata pria tersebut tersebut dengan penasaran. Ia ingin tau sebenarnya apa maksud dibalik pria tersebut ingin banyak mengetahui itu darinya. Otak Rena sudah mempersiapkan respon untu pertanyaan tersebut, responnya yaitu berupa “Rena tidak ingin dan tidak akan menjawab”. Tapi entah kenapa, Rena malah berbicara panjang lebar. Jauh lebih panjang daripada apa yang ia bayangkan sebelumnya.
Dengan nada yang agak meninggi dan tempo yang lumayan cepat, mulutnya mengeluarkan deretan kata-kata yang panjang. “Karena buat aku, melihat itu adalah suatu hal yang istimewa. Kenapa? Karena buat melihat sebenarnya memilih. Kita ngga bisa melihat semua apa yang mungkin dapat kita lihat. Biasanya kita melihat dunia kita menurut dugaan dari apa yang diharapkan atau apa yang kita percaya ada disana. Dugaan itu membuat hidup kita menjadi lebih mudah dan lebih aman. Kita tidak perlu memperhatikan secara sungguh-sungguh setiap rangsangan visual yang muncul seolah-olah kita baru melihatnya pertama kali, tetapi kita dapat memilih informasi yang berkenaan dengan kebutuhan kita pada saat itu.  oleh karena itulah, melihat sebenarnya memilih. Dan menggambar, sesungguhnya merupakan upaya kita me-representasikan apa kita lihat. Baik yang kita lihat secara nyata dalam realitas hidup yang nampak konkret, atupun melihat sesuatu yang masih seakan angan-angan bahkan mungkin saja sebenarnya tidak ada. Puas? Sudah cukup penjelasannya?” karena pejelasan panjang lebar tersebut, kini Rena harus mengatur nafasnya.
Pria tersebut nampak heran, namun juga kagum atas penjelasan panjang lebar Rena yang juga tidak ia sangka-sangka akan sepanjang itu.
“Aku punya seorang adik perempuan yang kebetulan tidak dapat melihat dunia dengan cara seperti kita. Ia tidak dapat melihat dunia secara nyata dalam bentuk-bentuk, kontur atau gradasi. Baginya, pengetahuan dan pengalaman tentang dunia hanya ia dapatkan dari telinga dan sentuhan..”
Rena terdiam, bersabar menunggu ucapan si pria itu selanjutnya.
“Maukah kamu mengajari adikku untuk pandai menggambar dunia meski ia tidak mempunyai kemampuan melihat dunia secara visual seperti kita?”
“oh itu. maksud kamu apa? Aku bener-bener ngga ngerti.” Rena benar-benar heran dengan situasi ini, dengan jalan pikiran si pria misterius ini, ia menjadi menyesal telah mengeluarkan kata-kata yang panjang lebar seperti tadi.
“Aku aku bukan orang jahat yang bermaksud menipu atau apa. aku adalah orang yang ingin kamu jadi pendampingku, aku ingin kamu tak hanya menggambar dunia untuk kamu nikmati sendiri, melainkan untuk juga dapat dinikmati secara mendalam oleh orang lain. Olehku dan juga adikku. Maukah?”
Rena mematung mendengar ucapan si pria misterius barusan. Ia tidak tau harus merespon apa. Baginya ini sebuah kejadian yang diluar nalar. Sorot mata dan raut wajah Mena memancarkan tanya yang sangat besar pada pria misterius tersebut. Bagi Rena, butuh waktu untuk mengumpulkan kekuatan agar dapat mengeluarkan kata berupa suara.
“Aku tau dalam pikiramu saat ini, tergantung sebuah tanda tanya besar dengan kata tanya berupa kenapa. Kenapa aku seberani ini kan?”
Rena mengangguk dengan kikuk.
“Karena aku jatuh cinta pada gambarmu, saat pandangan pertama, kedua, dan sepertinya seterusnya sampai mati”
Angin kencang kembali berhembus begitu dingin. Rena masih membisu
dan mematung.
            “Maukah?” tanya si pria misterius itu dengan penuh harap.


*****
Bertemunya dua mata tersebut ternyata menyatukan dua hati diantara mereka, dan merekapun bersama – menggambar dunia tak hanya untuk mereka.

Jurnalisme Radio


Mata Kuliah : Jurnalisme Radio
Semester          : 6
Dosen              : Bu Santi Indra Astuti


Sekelumit Tentang
Jurnalisme Radio

BAB 1.
TENTANG RADIO

Bab. 1 ini, menguraikan Sejarah Radio, Format radio, dan Revolusi radio.

Sejarah Radio
Dari sisi sejarah, Radio memiliki sejarah yang cukup panjang semenjak dahulu hingga menjadi seperti sekarang ini. Secara singkat, Radio adalah buah dari perkembangan teknologi yang memungkinkan suara di transmisikan secara serempak melalui gelombang radio di udara. Tahun 1896, Guglielmo Marconi menciptakan wireless telegraph yang menggunakan radio untuk membawa pesan dalam bentuk morse, lalu ia mendirikan perusahaan pengiriman pesan mengenai kedatangan dan keberangkatan kapal, mendirikan stasiun pemancar dan penerima, terutama di kawasan yang tidak terjangkau kabel telegraf dan belakangan bahkan mendirikan pabrik perakit dan penyedia perlengkapan radio.
            Potensi radio menjadi media jurnalistik yang mengabarkan peristiwa-peristiwa penting, mulai muncul pada tragedi tenggelamnya kapal Titanic pada tahun 1912. Ketika Kapal Titanic tersebut menabrak gunung es, radio mengirim pesan SOS dalam bentuk kode ke seluruh stasiun yang bisa menerimanya. Berkat hal tersebut, banyak nyawa yang terselamatkan, lebih dari itu, para Jurnalispun mendapatkan berita pertama tentang kejadian tersebut.

Format Radio
Pada awalnya radio memang digunakan untuk menyiarkan apa saja yang ingin disampaikan kepada massa dalam waktu serempak dan sesingkat-singkatnya. Namun seiring berjalannya waktu, dan seiring semakin banyaknya radio yang beroperasi, munculah format radio yang berbeda-beda.
Dalam arti sempit, format di dalam radio berarti susunan item program dalam satuan waktu. Salah satu format dalam radio yaitu adalah format clock. Format clock ini membedakan acara radio berdasarkan aktivitas pagi, siang, sore hingga malam. Susunan isinya disesuaikan dengan prediksi mengenai Lifestlye pendengar pada jam-jam tersebut. Pada pagi hari, disaat aktivitas memulai hari seperti berangkat ke kantor, sekolah, bekerja, atau melakukan aktifitas lainnya, maka program radio biasanya dipadati oleh laporan mengenai traffic report atau laporan lalulintas ketimbang diisi dengan musik. Sementara menjelang senja, program di dominasi oleh musik yang easy listening. Lalu malam hari semakin menyempit untuk pendengar dewasa.
Sementara dalam artian yang luas, format bisa diartikan sebagai susunan program radio secara keseluruhan, semacam menjadi penanda identitas yang terkemas dalam pelbagai program radio. Pada awalnya kemunculannya, tepatnya pada awal 1920 an, radio tidak mempunyai target pendengar tertentu, maka isi siarannyapun tidak tersegmentasi, atau easy mass programming (Vivian, 2006 : 159).
Barulah menjelang dekade tahun 1930-an, radio memiliki acara yang khusus dan baru, yaitu acara Talk Show Radio. Ketia acara talk show radio muncul, maka musik tidak lagi mendominasi, yang artinya tidak lagi menjadi atraksi utama. Pada era talkshow radio, radio berhasil meraih massa atau pendengar dalam jumlah yang signifikan, di iringi dengan kreatifitas orang-orang radio yang mengalir tanpa henti.
Pada dekade tahun 1950-an ketika Tv mulai meraih popularitas, format radio yang mass programmingpun perlahan-lahan ditinggalkan. Dan mulai munculah format siaran radio yang tersegmentasi, yaitu format penyiaran radio dengan format yang khusus atau spesifik untuk melayani khalayak yang juga lebih spesifik.
Program radio dengan format spesifik atau tersegmentasi di awali dari eksperimen penyiar Alan Freed di Clevelan dengan all rock n’ rollnya. Tanpa disangka, ternyata format tersebut mendapat respon yang baik dari khalayak, dan program hasil eksperimen Freen tersebut disiarkan di berbagai radio. Kemudian dari situlah, mulai banyak orang atau stasiun radio yang juga membuat program radio dengan format spesifik.
Format radio yang menjadi semakin beragam, disebabkan karena target pendengarnya juga semakin banyak. Music radio, oldtime radio, all-news, sport radio, talk radio, religious radio, dan radio ramalan cuaca, merupakan contoh-contoh jenis format berdasarkan pilihan content tertentu.
Yang saat ini paling lazim ditemukan adalah format yang disusun berdasarkan genre musik tertentu. Misalnya Top 40, country, jazz, rock, new age, adult contemporary, oldies, adult standards, Hispanik, dangdut, campur sari, dan lain-lain.
Selain itu ada pula radio yang di format berdasarkan hobi, misalnya radio otomotif, radio untuk pecinta fauna, radio untuk yang hobi memancing, hobi fotografi, dan masih banyak lagi segmentasi hobi yang lainnya. Ada pula yang berdasarkan Gender (radio Female dan Mustika untuk perempuan), Isu (Radio Metro untuk berbagi informasi mengenai lalulintas dan hokum, radio komunitas untuk aktivisme sosial), Profesi, kelas usia, dan lain-lainnya.

Revolusi Radio
Perkembangan industri atau pasar radio tak lepas dari perubahan teknologi. Teknologi pernah mengalami perkembangan pesat dan memunculkan gelombang revolusi tersendiri.
Dari perspektif determinis teknologi, perkembangan teknologi bukanlah merupakan suatu hal yang sederhana. Perkembangan teknologi merevolusi media, membentuk individu yang menggunakannya (user) bahkan membentuk masyarakat dan budayanya.
Pada awalnya, radio dimaksudkan sebagai alat telekomunikasi yang menjalankan fungsi sosial melayani masyarakat. Namun setelah didapati bahwa iklan dapat menjadi salah satu pendapatan radio yang sangat signifikan (bahkan utama), maka berkembanglah industri radio. Maka iklan sebenarnya adalah buah dari inovasi tidak sengaja yang memunculkan peluang mengeksploitasi ekonomi radio. 
Perhitungan harga pemasangan iklan dalam setiap media massa berbeda-beda, tegantung medinya. Bila iklan di media cetak biasanya tergantung dari space atau ruang yang dihabiskan untuk iklan tersebut. Semakin luas space yang digunakan, maka semakin mahal pula bayaran untuk pemasanngan iklan tersebut. Maka iklan di media elektronik biasanya didasarkan pada durasi, atau lamanya waktu iklan tersebut ditayangkan. Dalam dunia radio, istilah lain dalam penghitungan nilai iklan, didasarkan pada air time atau waktu siaran di udara.
Sistem radio pada awalnya sangat terintegrasi, dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan ketika radio mulai masuk kedalam ranah bisnis, dan teknologinya juga semakin memungkinkan untuk dioperasikan secara sederhana, maka radiopun menjadi terdesentralisasi. Kepemilikannya dapat jatuh ke tangan-tangan yang mengusahakannya. Kini tampak kecenderungan pasar radio berkembang kembali ke bentuk-bentuk jejaring dan sindikasi.
Revolusi Radio yang paling nyata adalah perubahan gelombang siaran dari AM (Amplitudo modulation) menjadi FM (frequency modulation). Gelombang FM dinilai lebih halus dan jernih sehingga popularitas AM tergeser. Namun AM pun kembali muncul, karena terbukti gelombang tersebut mempunyai daya jangkau (coverage) yang lebih luas.
Kemudian revolusi besar yang dialami oleh radio kembali terjadi manakala muncul atau ditemukan Digital Audio Broadcasting (DAB) atau sistem penyiaran berbasis digital, sehingga keterbatasan daya pancar gelombang FM yang awalnya hanya dapat bermain di areal lokalpuun teratasi.
Radio kini bukan lagi broadcasting yang membidik target segmen yang broad atau luas. Kini radio telah berubah dengan segmen yang menyempit dan terfokus. Maka sebenarnya radio bukan lagi sebagai broadcasting, melainkan narrowcasting.


BAB 2.
TEORI DAN MODEL

(Materi Minggu ke 4 Pertemuan Jur. Radio)
Rabu, 6 Maret 2013











Sejauh yang dapat ditelusuri, teori-teori khusus mengenai radio sangatlah sedikit bahkan dapat dikatakan tidak ada. Namun meski demikian, untuk menjelaskan fenomena radio sebagai media komunikasi massa, para cendekiawan atau para ilmuwan lebih  banyak mengacu pada teori-teori komunikasi massa, bahkan teori-teori sosial. Dengan cara itu, semua fenomena komunikasi terkait dengan radio dapat dianalisis dan dijelaskan merujuk pada teori-teori tersebut.

A. TEORI SEPUTAR DAMPAK
Teori-teori semacam ini mencoba mengaitkan proses atau alur komunikasi dengan efek atau dampaknya kepada khalayak.
1.   Teori Peluru Ajaib(The Magic Bullet Theory).
Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang tidak terbatas untuk menembus benak seseorang dengan sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan efek-efek instan.
2.   Teori Efek Terbatas (limited Effect)
Teori ini diangkat oleh Hadley Cantril bersama timnya secara massif sekitara tahun 1940. Hasil Penelitian Cantril mengawali penelitian yang terfokus pada limited effect atau efek terbatas, yang bersandar pada asumsi :
· Peran media massa ditengah masyarakat pada dasarnya terbatas.
· Media terutama Peran media massa dalam kehidupan individu bersifat limited atau terbatas, dll
· Media sebenarnya hanya pelengkap kehidupan manusia, dan tidak menggantikan kehidupan manusia seutuhnya. Manusia masih memiliki kendali mengatur kehidupan

Teori Efek terbatas ini terdiri dari :


- Teori Lingkar Kebisuan (Spiral of Silent)
Teori ini mengasumsikan bahwa orang-orang yang mempunyai pendapat/pandangan berbeda dengan pendapat dominan di media, cenderung akan berdiam diri karena takut ditolak atau tidak diterima lingkungannya, serta takut terpisah atau dikucilkan.
Untuk pihak yang berada di luar lingkaran media, yaitu khalayak pada umumnya yang memiliki pendapat atau pandangan berbeda tersebut, diistilahkan sebagai ‘mayoritas bisu’. Selain itu, teori ini juga membahas bahwa dalam diri khalayak ada persepsi selektif (selective exposure), yaitu bahwa orang mempersepsi pesan media sesuai dengan sikap dan keyakinan yang sudah ada sebelumnya, dan menolak yang dianggap tidak sesuai.
Teori ini biasanya dapat dilihat di runag-ruang pemberitaan. Dalam teori linkar kebisuan ini, hanya ada dua pilihan yaitu : menyingkir atau diam.

- Teori Kultivasi.
Teori ini mengasumsikan ada dua macam realitas. Realitas yang pertama adalah realitas faktual atau kejadian sesungguhnya, sementara realitas yang kedua adalah realitas simbolilk, yaitu gambaran realitas yang ditampilkan media melalui program-programnya.
Penonton atau khalayak media menjadi sasaran kultivasi atau penaman realitas simbolik yang disampaikan oleh media. Ketika mengonsumsi media yang sarat dengan kekerasan dalam intensitas yang tinggi, yaitu menghabiskan waktu sekitar 4 jam dan tergolong kedalam heavy viewer ayau penonton berat, maka dipercaya akan timbul sejumlah efek yang disebut dengan mean world syndrome (sindrom dunia nan kejam), yaitu :
  • Meningkatkan peluang terlibat dalam kekerasan
  • Takut berjalan sendirian dimalam hari
  • Salah satu persepsi mengenai aktivitas penegakan hokum
  • Secara umum, tidak mudah percaya kepada orang lain
Teori Gerbner mengenai kultivasi inipun dapat di adaptasi untuk menjelaskan pengaruh media komunikasi lain termasuk radio, yaitu ketika program populernya dikonsumsi khalayak secara terus menerus.
Teori kultivasi ini tergolong kedalam teori efek terbatas, karena tidak semua khalayak mengalami hipereralitas dan mean world syndrome tersebut. Yang  diasumsikan akan mengalami efek tersebut hanyalah orang-orang heavy viewer saja. Sementara orang yang tidak, tidak akan mengalami efek tersebut.

TEORI TENTANG PERAN
Teori seputar peran mencoba memperlihatkan tentang bagaimana peran media di tengah khalayak, baik dalam lingkup makroskopis maupun dalam lingkup mikroskopis.
1. Difusi Inovasi (diffusion of Innovasion)
Kata difusi meminjam konsep dari ilmu alam, yang dirumuskan Rofger dan Shoemaker (1971) sebagai proses dimana suatu penemuan disebarkan kepada masyarakat yang menjadi sistem sosial. Difusi tersebut mengacu pada penyebaran informasi baru, inovasi, atau proses baru ke seluruh masyarakat. Lalu yang disebut dengan inovasi adalah hal terkait dengan teknologi dan penemuan baru yang menunjang pembangunan.
Teori Divusi Inovasi ini mengandaikan bahwa inovasi akan berpindah dari satu titik ke ktitik yang lain, dimulai dari early adopters ke adopter lanjutan. Teori ini merupakan pengembangan dari teori dua tahap (two step flow of communication).
Terdapat serangkaian proses yang harus dilewati agar inovasi tersebut dapat tersebar secara luas dan menjadi bagian dari masyarakat. Proses tersebut dimulai dari akuisisi informasi, evaluasi informasi, hingga akhirnya mencapai tahap terakhir yaitu adopsi atau penolakan (Nuruddin, 2007 : 190).
Teori divusi informasi ini merupakan teori dengan lingkup makro atau pada lingkup sosial maysarakat yang luas. Contoh penerapan dari teori Divusi Informasi ini adalah :
-                     Sosialisasi program-program pemerintah melalui tokoh-tokoh tertentu baik secrala langsung maupun tidak langsung.
-                     Penyampaian pesan kepada masyarakat dengan menggunacakan cara tersebut dianggap akan lebih efektif.

2. Cognitive Science (Pengetahuan Kognitif)
Berbeda dengan teori divusi inovasi, teori Cognitive Science ini merupakan teori dengan lingkup yang sempit, yaitu lingkup individu. Teori ini populer sekitar tahun 1960-an dan menjadi basis dari penjelasan mengenai bagaimana media massa bekerja dalam taraf kognisi hingga memunculkan efek-efek tertentu pada tataran behavioral yang berupa perilaku atau tingkah laku.
Maka teori ini berjalan berdasarkan pada konsep manusia sebagai homo ludens atau manusia yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya. 
Menurut Albert Bandura, seorang tokoh psikologi Behaviorisme, televisi atau media massa lainnya termasuk radio menampilkan model-model yang menjadi acuan perilaku. Dengan mengamati model-model tersebut, khalayak belajar mengenai mana perilaku atau norma yang pantas, mana yang tidak. Mekanismenya yaitu melalui reward (ganjaran) and punishment (hukuman). Perilaku yang pantas akan mendapatkan ganjaran, sebaliknya, perilaku yang tidak pantas akan mendapatkan hukuman atau sanksi. Dan upaya mengikuti apa yang dilihat, didengar, serta dipelajari dari model yang ditampilkan tersebut, dinamakan dengan Imitasi atau peniruan.

3. Agenda Setting
Teori ini mengasumsikan bahwa agenda media akan mempengaruhi agenda publik. Isu-isu yang banyak diwacanakan di media-media, akan menjadi konsumsi publik, dan akhirnya memicu diskusi diantara mereka.
Dalam konteks lain, agenda media menjadi acuan publik untuk mengagendakan diri, termasuk menjadwalkan waktu. Perumus teori Agenda Setting ini adalah Mc Combs dan Shaw. Intinya, teori Agenda setting ini mencirikan relasi antara media dengan audience, dengan focus pada sisi media.
4. Uses and Gratification Theory
Teori teori Uses and Gratification ini titik fokusnya terletak pada sisi audience. Menurut teori ini justru bukanlah media yang di agendakan oleh khalayak, melainkan khalayak yang diagendakan oleh khalayak. Justru khalayaklah yang yang mempengaruhi tentang seperti apa isi media.
Katz (1974) merangkum logika teori ini dalam komponen-komponen sebagai berikut :
  • Faktor sosial psikologi yang menjadi sumber
  • Kebutuhan atau need, yang memunculkan
  • Ekspektasi atau pengharapan terhadap
  • Media massa atau sumber-sumber lain, hingga mengarah pada
  • Pola terpaan media yang berbeda-beda, hingga menghasilkan
  • Pemenuhan (gratifikasi) kebutuhan dan
  • Konsekuensi-konsekuensi lain, termasuk konsekuensi yang tidak diduga, atau tidak dikehendaki (Mc. Quail & Windahl, 1981 : 77)

5. Teori Normatif media.
Teori ini mengandaikan fungsi-fungsi dan peran-peran ideal media massa, maka teori ini mengasumsikan apa dan bagaimana seharusnya media massa berfungsi dan berperan ditengah-tengah masyarakat.
Dalam teori ini menyebutkan tentang pentingnya public sphere. Public Sphere merupakan sebuah situasi yang memungkinkan public mendiskusikan berbagai hal secara terbuka. Public Sphere atau yang dalam bahasa indonesianya disebut ruang publik, berlangsung ketika warga Negara melaksanakan hal berkumpul dan berserikat, guna mendiskusikan isu hari itu, terutama yang berkenaan dengan masalah-masalah politik. (Mc. Quail)
Karena negara modern menghimpun banyak penduduk, maka ruang public tersebut diwujudkkan dalam bentuk media. Maka media harus menjalankan fungsinya menjadi public sphere atau ruang public yang memberikan manfaat kepada publik.
Teori Normatif yang lain berbicara mengenai tanggung jawab sosial (Social Responsibility Theory). Teori ini mengasumsikan bahwa media massa memiliki tanggung jawab sosial untuk melayani masyarakat. Dengan kekuatan luar biasa yang dimiliki media massa, justru media massa juga dituntun untuk juga memberikan kontribusi yang besar.
Teori normative ini biasanya yang menjadi dasar dari aturan atau undang-undang penyiaran.

6. Teori Dependensi Media (Media System dependensi theory).
Teori dependesi Media karya Ball-Rockeach dan De Fleur (1967) ini merupakan teori yang berupaya menggabungkan semuanya.  Dalam teorinya, memperlihatkan bagaimana kondisi structural masyarakat, akan dapat menentukan potensi efek media dalam diri khalayak. Tepatnya, ada keterkaitan antara ketiganya –media, sistem sosial, dan khalayak. Ketiga hal tersebut sama-sama menimbulkan efek pada khalayak dalam tataran kognitif, afektif, dan behavioral.

Teori Kritis
-      Priming Theory
-      Mainstreaming Theory
-      Fear Effect
-      Desensitization / menurut Djalaluddin Rachmat (Agresi sebagai efek Komunikasi Massa)
-      Chatarsis Theory

Teori wacana kritis dan teori-teori pembingkaian (framing) memperlihatkan bagaimana kekuatan-kekuatan tertentu mengerangka dan membingkai teks-teks  media. Teks media bermacam-macam, bisa berupa berita, artikel, program radio, atau bahkan drama televisi.
Sosiologi media, adalah kumpulan teori yang  memperlihatkan bagaimana media dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar dirinya sendiri. Faktor-faktor tersebut dirangkum oleh Reese dan Shoemaker, yaitu :
1.   Individual, berupa keyakinan, latar belakang pendidikan atau profesi yang dimiliki oleh para pekerja media
2.   Media Routine berupa tata kerja media selaku produser teks
3.   Organisasional, berupa visi-misi atau tujuan yang dimiliki media.
4.   Extramedia, seperti persaingan antar media. Konstruksi siste pasar media.
5.   Ideologi yang mempengaruhi sistem tempat media beroperasi.
Framing adalah pendekatan yang digunaan untuk memahami ‘logika’ pengemasan tersebut dalam versi media itu sendiri. Framing adalah cara media mengonstruksikan realitas yang ditentukan oleh berbagai hal, mulai dari perspektif pembuat berita, kognisi sosial produser teks, sampai pada kategorisasi ‘kita’ dan significant Others. Model Framing inipun dapat juga digunakan untuk menganalisis radio.
Teori Ekonomi Politik
Ekonomi politik adalah pendekatan teoritik yang mencoba memperlihatkan bagaimana sistem-sistem di sekitar kita dipengarui oleh kontrol elit-elit tertentu atas fungsi-fungsi ekonomi. (Murdock, 1989 dalam Baran & Davis, 2006:241).
Ini adalah pendekatan yang berakar dari Marxisme, yaitu bagaimana base mempengaruhi superstructure. Dan Radio juga termasuk kedalam bagian superstructure tersebut. Contoh, betapa faktor ekonomi begitu mempengaruhi  atau menentukan politik dan strategi pengemasan serta penempatan radio, ditunjukan oleh yang namanya rating.
Teori determinisme Teknologi.
Pendukung teori ini beranggapan bahwa teknologi lah yang segalanya.Teknologi yang tadinya hanya difungsikan sebagai alat bantu, akhirnya membentuk user atau pengguna, dan pada gilirannya ‘membentuk’ masyarakat baru mengidnuksi perubahan budaya, serta memengaruhi sistem politik, sosial, dan ekonomi.
Teori Tentang Proses dan Produk
Fokus dari ragam teori ini terletak pada faktor-faktor media yang berkenaan dengan proses produksi produk-produk media.

MODEL DAN KLASIFIKASI
Selain dapat digunakan dalam menjelaskan proses, model juga dapat digunakan untuk menyusun klasifikasi. Berikut ini merupakan penjabaran model-model media komunikasi massa menurut Vivian :
1. Hot-Cool Media Model
Model ini diusulkan oleh Marshall Mc.Luhan (1911-1980). Ia membedakan hot and cool berdasarkan setidaknya oleh dua hal yaitu : (1) definisi yang akhirnya (2) menentukan tingkat keterlibatan khalayak dalam mengonsumsi media massa tersebut.
2. Entertainment-Informational Model
Model ini membagi media berdasarkan pada penekanan isinya, yaitu informasi ataukah hiburan (entertainment). Surat kabar selalu digolongkan sebagai media informasi, sebab isinya lebih banyak memuat informasi dibandingkan hiburannya, tercermin dari banyaknya berita, tajuk rencna, atau editorial, lembar opini atau artikel, karikatur, sampai selingan berupa teka-teki silang. Sementara itu, kaset rekaman dan film dikategorikan sebagai media hiburan karena isinya memang dimaksudkan untuk lebih banyak menghibur. Dan Radio dilategorikan sebagai media hiburan, karena sifat dasar radio yang atraktif dan auditif.
Teori ini memiliki kelemahan, yaitu seiring perkembangan zaman, media semakin mengembangkan diri dengan berbagai program, Hal tersebut menjadikan bias dalam pengkategorian secara baku.
3. Content Distribution Model
Pendekatan Content distribution Model ini tertarik pada amatan seputar industri media. Dengan  begitu kita akan dapat menganalisis keberadaan perusahaan media tersebut, sekaligus memahami isu-isu penting yag melingkupi dirinya sebagai sebuah perusahaan media.
Penekanan jenis-jenis perusahaan media, tersebut Didasarkan pada :
  • Siapa yang memproduksi (content unit)
  • Siapa yang mendistribusikan (distribution unit)
Beberapa perusahaan media lebih berkonsentrasi pada produksi isi, mereka kita kenal sebagai production house, semisal Multivision, Sinemart, dll. Atau perusahaan-perusahaan penerbitan buku, majalah, dan sebagainya. Perusahaan media lainnya berbisnis dengan mengekpoitasi ruang-ruang distribusi media, seperti  toko-toko buku, bioskop, dan jaringan sistem kabel. Di Indonesia contohnya adalah Gramedia, Gunung Agung, Togamas, atau jaringan bisokap Blitz Megaplex, 21, dan televisi kabel.
Beberapa perusahaan kadang-kadang didirikan untuk menyuplai (isi) sekaligus mendistribusikannya. Semuanya ingin dimonopoli, jika sudah begitu, akan menjadi sulit mengaplikasikan distribution model ini secara rigit.

Matural Model
Matural Model ini meperbincangkan tahapan-tahapan media massa., sehingga bermanfaat menjelaskan sejarah dan cara permunculan media komunikasi massa. Matural Model membagi tahapan perkembangan media :
1. Tahapan Inovasi
Ini merupakan tahapan dimana media tersebut baru ditemukan teknologinya. Belum terbayangkan, bahkan oleh penciptanya tentang sejauh mana dan kearah mana media tersebut terus berkembang. Pada radio, tahapan inovasinya berkembang pada sekitar tahun 1800-an dengan ditemukannya beberapa teknologi yang pada akhirnya bermuara pada radio.
2. Tahapan Kewirausahaan
Pada tahapan ini para wirausahawan mulai mengeksplorasi kemunginan-kemungkinan komersial yang bisa dimunculkan oleh bsinis media. Tentu saja, teknologi masih terus bermunculan, tetapi kini lebih terfokus. Menurut Vivian, tahapan ini juga tidak hanya diwarnai oleh eksperimen produk, pasar, dan user dari media, melainkan tahapan ini juga diwarnai dengan perebutan hak paten dan kasus-kasus hokum terkait hal tersebut.
3. Tahapan Stabilitas
Tahapan stabilitas ini tercapai manakala media komunikasi massa tertenu sudah luas dalam hal pemasarannya. Ini tentunya tidak terlepas dari hal pemanfaatannya yang meluas juga.
Mature atau berarti dewasa, artinya media telah melewati ketiga tahapan tersebut, mulai dari inovasi, kewirausahaan, dan stabilitas. Buku disebut-sebut sebagai media yang sudah mature atau sudah dewasa. Selain media kuno yang masih eksis hingga kini, industri buku juga sudah cukup mapan, tidak seperti internet yang masih jatuh bangun, dan banyak berada di tahapan eksperimental.

Elitist Politist Model
Model ini mengkategorikan media massa adalah dengan cara menilai kontribusinya bagi masyarakat, dengan demikian kita dihadapkan pada media elit dan media populis.
Yang disebut sebagai Elitist media atau media elit adalah jenis-jenis media yang berfungsi meningkatkan masyarakat (dalam hal apapun), serta memiliki kontribusi pada pencerdasan budaya. Contohnya : majalah-majalah serius, program televisi yang terfokus pada tema sejarah, rekaman-rekaman musik klasik atau contemporary jazz. Sedangkan populis media adalah jenis-jenis media yang produknya untuk memenuhi kebutuhan dasar yang dikehendaki pasar, seperti tabloid-tabloid sensasional, program reality show, lain sebagainya. Dan Radio bisa tergolong kedalam dua golongan tersebut, tergantung pada visi dan misi yang diterjemahkan kedalam program-programnya.