Sunday 17 March 2013

Mengajar di Grafis

Rabu, 13 Maret 2013 kemarin merupakan pengalaman yang berharga. kenapa? karena itu merupakan kali pertamanya saya resmi mengajar sebagai asisten Lab Grafis Unisba, bersama rekan saya Peun.
:)

Wahyu Aditya dan Pandji, Dua Pemuda Bangsa Penuh Talenta

Jum'at  11 Maret 2013 lalu Mahasiswa Public Relation UNISBA mengadakan Talk Show dan  Bedah Buku. Ada dua pembicara dan ada dua buku yang di bedah dalam acara tersebut. Pembicara yang pertama yaitu seorang creativepreneur muda berbakat bernama Wahyu Aditya dengan bukunya yang berjudul Sila ke 6 : Kreatif Sampai Mati. sedangkan pembicara kedua adalah Mas Panji Pragiwaksono, seorang aktivis muda yang juga kreatif dengan bukunya yang berjudul "Berani Mengubah.

Keduanya pembicara tersebut memiliki karakternya masing-masing. Jika mas Wahyu Aditya terkesan lebih santai atau kalem, berbeda halnya dengan Pandji. Ia sangat atraktif, bahkan mungkin hiperaktif hehe.

hmm.. untuk materi yang di paparkan oleh mas Wahyu Aditya, saya tidak dapat menjelaskan semuanya, sebab saya datang telah ke Aula Unisba, tempat berlangsungnya acara tersebut, karena sebelumnya ada kelas Metode Penelitian Komunikasi dulu yang tidak memungkinkan untuk di tinggalkan.








Saturday 9 March 2013

Cerpen (katanya)


Nama               : Fika Pertiwi
NPM               : 10080010042
Kelas               : A
Mata Kuliah    : Arkurifai Baksin
Genre Tulisan : Cerpen

Bertemunya 2 Mata

Hari ini adalah hari sabtu, kebetulan adalah hari pertama di bulan ini- Maret. Pagi ini, tidak ada rintik hujan, pun tidak ada terik matahari. Yang ada adalah kumpulan awan sendu berwarna pudar, serta hembusan angin yang cukup kencang sehingga mampu membuat pohon-pohon berdiameter tidak terlalu besar menjadi bergoyang seperti akan tumbang.
Seorang wanita paruh baya melihat suasana di luar rumahnya, dari balik kaca jendela. Lalu ia membalikkan badan, dan berjalan ke arah putrinya yang sedang berdandan di depan cermin “kalo bisa jangan kemana-mana Ren, mendung dan banyak angin gitu, nanti kamu sakit”.
“Ngga apa-apa mah, ngga usah khawatir. Apa bedanya sama cuaca cerah yang panas atau cuaca-cuaca lainnya? Kalo emang harus sakit ya sakit aja” jawab Rena sambil tersenyum dan merangkul mamanya. “mama ini kaya ngga tau Rena aja”.
Wanita paruh baya itupun terdiam sejenak. Nampak berpikir sambil menerawang. “justru karena mama tau kamu. ya sering-sering bolos buat pergi kesana di hari sabtu kan ngga akan kenapa-kenapa”
“ngga ah ma, Rena tetep mau pergi. Rena lagi semangat banget nih hari ini!” Rena cengengesan. Matanya berbinar-binar.
 “yaudah deh gimana kamu, tapi hati-hati ya. Jangan lupa jaket tebal, jas hujan, dan payungnya, takut hujan besar. Jangan pulang kesorean!”
“Oke ma! Rena pasti pulang sebelum sore, soalnya harus ngerjain materi buat rapat di kantor lusa.”
Setelah selesai berdandan, Rena segera mengambil tas ransel dan peralatan lainnya yang mungkin nanti akan dia butuhkan. Lalu iapun bergegas pergi.
Karena masih cukup pagi, jalanan didekat rumahnya masih lengang. Terlebih cuaca pagi itu memang tidak cerah, melainkan mendung dan berangin, sehingga membuat kebanyakan orang nampaknya malas untuk melakukan aktivitas di luar  rumah bila memang tidak benar-benar penting, atau bila memang  tidak benar-benar terpaksa.
Namun bagi Rena, cuaca seperti apapun tidaklah masalah. Baginya cuaca cerah yang terik, maupun mendung ber-angin, bahkan cuaca hujan sekalipun tidak akan bisa menghentikannya untuk pergi ke bukit belakang rumahnya tersebut di hari sabtu. Yang bisa menghentikannya, hanyalah jika ia sedang benar-benar memiliki kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan, dan hanya bila dia sedang sakit saja.
Rutinitas berkunjung ke bukit pada setiap hari sabtu tersebut, sudah Rena lakukan semenjak kecil, semenjak ia menemukan bukit tersebut bersama sahabatnya bernama Risa, tepat di hari sabtu. Ketika itu mereka masih bocah kelas 6 SD yang lugu dan senang mencari serta menemukan tempat-tempat baru. Di setiap Sabtu mereka selalu datang ke bukit, dan menghabiskan waktu disana hingga sore. Tapi sayang, Risa meninggal karena sakit saat kelas 2 SMP.
Sebenarnya sesaat sepeninggal Risa, rutinitas Rena berkunjung ke bukit di hari sabtu tersebutpun sempat terhenti selama beberapa bulan. Alasannya karena ia tidak kuasa menahan kesedihan manakala berada di tempat yang penuh dengan kenangan akan kebersamaan bersama Risa. Kala itu, Rena masih belum bisa menerima kenyataan, dan terkurung dalam ketakutan akibat rasa kehilangan. Saat itu jika hari sabtu tiba, Rena memilih menyibukkan dirinya di tempat lain.
Tapi dari rentang waktu beberapa bulan dimana ia tidak pergi ke bukit belakang rumah pada hari sabtu tersebut, ia malah malah merasakan ketersiksaa batin. Seperti ada sesuatu yang hilang, tak lengkap. Perlahan Rena menyadari, bahwa ia rindu datang ke bukit. Saat itu Rena tau bahwa ia tidak perlu (selalu) menghindar dari kesedihan yang disebabkan kenangan indah yang hanya tinggal kenangan. Datang dan pergi merupakan sebuah proses atau kenyataan yang harus diterima. Menyangkal kenyataan dari apa yang sudah ditetapkan oleh yang Maha memiliki, merupakan hal yang membuatnya menjadi lelah dengan diri sendiri.
Akhirnya Renapun kembali sering mengunjungi bukit itu di hari sabtu. Ia belajar untuk kembali menikmati suasana dan pemandangan yang ada disana, selayaknya dahulu ketika bersama sahabatnya –meski tak lagi sama. Dari upaya memaksakan diri agar terbiasa (lagi) tersebut, ternyata Rena  berhasil. Ia menjadi sangat terbiasa pergi ke bukit belakang rumahnya pada hari sabtu. Rutinitas itu perlahan ibarat Ritual untuk merefleksikan kesadaran diri dan introspeksi.
Aktivitas yang kerap ia lakukan disana berupa menggambar, menulis catatan-cacatan sederhana, ataupun juga menikmati buku bacaan kesukaannya sambil mendengarkan alunan musik. Jika disuruh memilih satu yang paling disuka diantara semua kegiatan tersebut, Rena pasti menjawab bahwa menggambar merupakan hal yang paling ia senangi. Terkadang ia menggambar sambil mendengarkan musik berupa instrumen yang mengalun dari ipod nya. Tapi jika sedang bosan, ia juga menggambar sambil mendengarkan musik alam saja. Menikmati apa adanya.

**
Aktivitasnya di bukit pada hari ini, ia rasa sudah cukup. untung ngga hujan, jadi ngga ribet basah-basahan deh. Rena membatin sendiri dalam perjalanan pulang menuju rumah. Ia tersenyum senang.
Rena melangkahkan kaki dengan langkah-langkah yang cepat dan cukup lebar. Ia begitu bersemangat ingin segera tiba dirumah. Agar tidak ribet ketika ingin memperlihatkan hasil karyanya, yang saat itu berupa gambar kepada ibunya, maka Rena tidak memasukkan file-file kertas hasil gambarnya kedalam tas ransel. Ia lebih memilih menjinjing tumpukan hasil karyanya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya penuh, karena harus memegangi payung bertongkat panjang dan jas hujan.
Di persimpangan jalan, tiba-tiba angin berhembus cukup kencang, dan beberapa file-file kertas hasil gambar Rena tiba-tiba melayang terbawa angin.
“ah, gambar-gambarku”
Satu persatu dia memunguti gambarnya yang berserakan di jalanan.
“Nih punya kamu kan?” tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari arah samping Rena. Ia memegang selembar kertas berisi karya gambar Rena. Raut wajahnya nampak serius ketika memperhatikan detil gambar tersebut.
“Oh ia sepertinya..” Rena Nampak kikuk, karena kaget dengan kehadiran suara dan sosok pria tersebut.
“Kenapa kamu suka menggambar?” tanya Pria tersebut tanpa basa-basi, membuat Rena semakin kikuk, kaget, dan ditambah heran.
Ini orang apaan sih tiba-tiba nanya kayak gitu? Rena berkata dalam hati. Ia memperhatikan sosok pria tersebut. Berpakaian rapi dengan kemeja panjang yang digulung sampai  lengan, celana berwarna cokelat tua, dan beberapa buku di tangan kirinya.
Pria tersebut melambai-lambaikan tangan tepat di depan wajah rena, seakan menyadarkan dia untuk segera menjawab pertanyaan yang tadi diajukannya.
 “oh itu, Karena aku senang melihat” jawab Rena singkat, berharap dengan jawaban singkat itu, pria misterius yang nampak seusia dengannya tersebut dapat segera mengembalikan kertas berisi gambar karyanya tersebut, dan berhenti bertanya menyangkut hal yang menurutnya tidak penting ditanyakan oleh orang yang baru bertemu seperti saat itu.
“Kenapa senang melihat?” tanya si pria itu lagi dengan penasaran.
Rena menatap mata pria tersebut tersebut dengan penasaran. Ia ingin tau sebenarnya apa maksud dibalik pria tersebut ingin banyak mengetahui itu darinya. Otak Rena sudah mempersiapkan respon untu pertanyaan tersebut, responnya yaitu berupa “Rena tidak ingin dan tidak akan menjawab”. Tapi entah kenapa, Rena malah berbicara panjang lebar. Jauh lebih panjang daripada apa yang ia bayangkan sebelumnya.
Dengan nada yang agak meninggi dan tempo yang lumayan cepat, mulutnya mengeluarkan deretan kata-kata yang panjang. “Karena buat aku, melihat itu adalah suatu hal yang istimewa. Kenapa? Karena buat melihat sebenarnya memilih. Kita ngga bisa melihat semua apa yang mungkin dapat kita lihat. Biasanya kita melihat dunia kita menurut dugaan dari apa yang diharapkan atau apa yang kita percaya ada disana. Dugaan itu membuat hidup kita menjadi lebih mudah dan lebih aman. Kita tidak perlu memperhatikan secara sungguh-sungguh setiap rangsangan visual yang muncul seolah-olah kita baru melihatnya pertama kali, tetapi kita dapat memilih informasi yang berkenaan dengan kebutuhan kita pada saat itu.  oleh karena itulah, melihat sebenarnya memilih. Dan menggambar, sesungguhnya merupakan upaya kita me-representasikan apa kita lihat. Baik yang kita lihat secara nyata dalam realitas hidup yang nampak konkret, atupun melihat sesuatu yang masih seakan angan-angan bahkan mungkin saja sebenarnya tidak ada. Puas? Sudah cukup penjelasannya?” karena pejelasan panjang lebar tersebut, kini Rena harus mengatur nafasnya.
Pria tersebut nampak heran, namun juga kagum atas penjelasan panjang lebar Rena yang juga tidak ia sangka-sangka akan sepanjang itu.
“Aku punya seorang adik perempuan yang kebetulan tidak dapat melihat dunia dengan cara seperti kita. Ia tidak dapat melihat dunia secara nyata dalam bentuk-bentuk, kontur atau gradasi. Baginya, pengetahuan dan pengalaman tentang dunia hanya ia dapatkan dari telinga dan sentuhan..”
Rena terdiam, bersabar menunggu ucapan si pria itu selanjutnya.
“Maukah kamu mengajari adikku untuk pandai menggambar dunia meski ia tidak mempunyai kemampuan melihat dunia secara visual seperti kita?”
“oh itu. maksud kamu apa? Aku bener-bener ngga ngerti.” Rena benar-benar heran dengan situasi ini, dengan jalan pikiran si pria misterius ini, ia menjadi menyesal telah mengeluarkan kata-kata yang panjang lebar seperti tadi.
“Aku aku bukan orang jahat yang bermaksud menipu atau apa. aku adalah orang yang ingin kamu jadi pendampingku, aku ingin kamu tak hanya menggambar dunia untuk kamu nikmati sendiri, melainkan untuk juga dapat dinikmati secara mendalam oleh orang lain. Olehku dan juga adikku. Maukah?”
Rena mematung mendengar ucapan si pria misterius barusan. Ia tidak tau harus merespon apa. Baginya ini sebuah kejadian yang diluar nalar. Sorot mata dan raut wajah Mena memancarkan tanya yang sangat besar pada pria misterius tersebut. Bagi Rena, butuh waktu untuk mengumpulkan kekuatan agar dapat mengeluarkan kata berupa suara.
“Aku tau dalam pikiramu saat ini, tergantung sebuah tanda tanya besar dengan kata tanya berupa kenapa. Kenapa aku seberani ini kan?”
Rena mengangguk dengan kikuk.
“Karena aku jatuh cinta pada gambarmu, saat pandangan pertama, kedua, dan sepertinya seterusnya sampai mati”
Angin kencang kembali berhembus begitu dingin. Rena masih membisu
dan mematung.
            “Maukah?” tanya si pria misterius itu dengan penuh harap.


*****
Bertemunya dua mata tersebut ternyata menyatukan dua hati diantara mereka, dan merekapun bersama – menggambar dunia tak hanya untuk mereka.

Jurnalisme Radio


Mata Kuliah : Jurnalisme Radio
Semester          : 6
Dosen              : Bu Santi Indra Astuti


Sekelumit Tentang
Jurnalisme Radio

BAB 1.
TENTANG RADIO

Bab. 1 ini, menguraikan Sejarah Radio, Format radio, dan Revolusi radio.

Sejarah Radio
Dari sisi sejarah, Radio memiliki sejarah yang cukup panjang semenjak dahulu hingga menjadi seperti sekarang ini. Secara singkat, Radio adalah buah dari perkembangan teknologi yang memungkinkan suara di transmisikan secara serempak melalui gelombang radio di udara. Tahun 1896, Guglielmo Marconi menciptakan wireless telegraph yang menggunakan radio untuk membawa pesan dalam bentuk morse, lalu ia mendirikan perusahaan pengiriman pesan mengenai kedatangan dan keberangkatan kapal, mendirikan stasiun pemancar dan penerima, terutama di kawasan yang tidak terjangkau kabel telegraf dan belakangan bahkan mendirikan pabrik perakit dan penyedia perlengkapan radio.
            Potensi radio menjadi media jurnalistik yang mengabarkan peristiwa-peristiwa penting, mulai muncul pada tragedi tenggelamnya kapal Titanic pada tahun 1912. Ketika Kapal Titanic tersebut menabrak gunung es, radio mengirim pesan SOS dalam bentuk kode ke seluruh stasiun yang bisa menerimanya. Berkat hal tersebut, banyak nyawa yang terselamatkan, lebih dari itu, para Jurnalispun mendapatkan berita pertama tentang kejadian tersebut.

Format Radio
Pada awalnya radio memang digunakan untuk menyiarkan apa saja yang ingin disampaikan kepada massa dalam waktu serempak dan sesingkat-singkatnya. Namun seiring berjalannya waktu, dan seiring semakin banyaknya radio yang beroperasi, munculah format radio yang berbeda-beda.
Dalam arti sempit, format di dalam radio berarti susunan item program dalam satuan waktu. Salah satu format dalam radio yaitu adalah format clock. Format clock ini membedakan acara radio berdasarkan aktivitas pagi, siang, sore hingga malam. Susunan isinya disesuaikan dengan prediksi mengenai Lifestlye pendengar pada jam-jam tersebut. Pada pagi hari, disaat aktivitas memulai hari seperti berangkat ke kantor, sekolah, bekerja, atau melakukan aktifitas lainnya, maka program radio biasanya dipadati oleh laporan mengenai traffic report atau laporan lalulintas ketimbang diisi dengan musik. Sementara menjelang senja, program di dominasi oleh musik yang easy listening. Lalu malam hari semakin menyempit untuk pendengar dewasa.
Sementara dalam artian yang luas, format bisa diartikan sebagai susunan program radio secara keseluruhan, semacam menjadi penanda identitas yang terkemas dalam pelbagai program radio. Pada awalnya kemunculannya, tepatnya pada awal 1920 an, radio tidak mempunyai target pendengar tertentu, maka isi siarannyapun tidak tersegmentasi, atau easy mass programming (Vivian, 2006 : 159).
Barulah menjelang dekade tahun 1930-an, radio memiliki acara yang khusus dan baru, yaitu acara Talk Show Radio. Ketia acara talk show radio muncul, maka musik tidak lagi mendominasi, yang artinya tidak lagi menjadi atraksi utama. Pada era talkshow radio, radio berhasil meraih massa atau pendengar dalam jumlah yang signifikan, di iringi dengan kreatifitas orang-orang radio yang mengalir tanpa henti.
Pada dekade tahun 1950-an ketika Tv mulai meraih popularitas, format radio yang mass programmingpun perlahan-lahan ditinggalkan. Dan mulai munculah format siaran radio yang tersegmentasi, yaitu format penyiaran radio dengan format yang khusus atau spesifik untuk melayani khalayak yang juga lebih spesifik.
Program radio dengan format spesifik atau tersegmentasi di awali dari eksperimen penyiar Alan Freed di Clevelan dengan all rock n’ rollnya. Tanpa disangka, ternyata format tersebut mendapat respon yang baik dari khalayak, dan program hasil eksperimen Freen tersebut disiarkan di berbagai radio. Kemudian dari situlah, mulai banyak orang atau stasiun radio yang juga membuat program radio dengan format spesifik.
Format radio yang menjadi semakin beragam, disebabkan karena target pendengarnya juga semakin banyak. Music radio, oldtime radio, all-news, sport radio, talk radio, religious radio, dan radio ramalan cuaca, merupakan contoh-contoh jenis format berdasarkan pilihan content tertentu.
Yang saat ini paling lazim ditemukan adalah format yang disusun berdasarkan genre musik tertentu. Misalnya Top 40, country, jazz, rock, new age, adult contemporary, oldies, adult standards, Hispanik, dangdut, campur sari, dan lain-lain.
Selain itu ada pula radio yang di format berdasarkan hobi, misalnya radio otomotif, radio untuk pecinta fauna, radio untuk yang hobi memancing, hobi fotografi, dan masih banyak lagi segmentasi hobi yang lainnya. Ada pula yang berdasarkan Gender (radio Female dan Mustika untuk perempuan), Isu (Radio Metro untuk berbagi informasi mengenai lalulintas dan hokum, radio komunitas untuk aktivisme sosial), Profesi, kelas usia, dan lain-lainnya.

Revolusi Radio
Perkembangan industri atau pasar radio tak lepas dari perubahan teknologi. Teknologi pernah mengalami perkembangan pesat dan memunculkan gelombang revolusi tersendiri.
Dari perspektif determinis teknologi, perkembangan teknologi bukanlah merupakan suatu hal yang sederhana. Perkembangan teknologi merevolusi media, membentuk individu yang menggunakannya (user) bahkan membentuk masyarakat dan budayanya.
Pada awalnya, radio dimaksudkan sebagai alat telekomunikasi yang menjalankan fungsi sosial melayani masyarakat. Namun setelah didapati bahwa iklan dapat menjadi salah satu pendapatan radio yang sangat signifikan (bahkan utama), maka berkembanglah industri radio. Maka iklan sebenarnya adalah buah dari inovasi tidak sengaja yang memunculkan peluang mengeksploitasi ekonomi radio. 
Perhitungan harga pemasangan iklan dalam setiap media massa berbeda-beda, tegantung medinya. Bila iklan di media cetak biasanya tergantung dari space atau ruang yang dihabiskan untuk iklan tersebut. Semakin luas space yang digunakan, maka semakin mahal pula bayaran untuk pemasanngan iklan tersebut. Maka iklan di media elektronik biasanya didasarkan pada durasi, atau lamanya waktu iklan tersebut ditayangkan. Dalam dunia radio, istilah lain dalam penghitungan nilai iklan, didasarkan pada air time atau waktu siaran di udara.
Sistem radio pada awalnya sangat terintegrasi, dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan ketika radio mulai masuk kedalam ranah bisnis, dan teknologinya juga semakin memungkinkan untuk dioperasikan secara sederhana, maka radiopun menjadi terdesentralisasi. Kepemilikannya dapat jatuh ke tangan-tangan yang mengusahakannya. Kini tampak kecenderungan pasar radio berkembang kembali ke bentuk-bentuk jejaring dan sindikasi.
Revolusi Radio yang paling nyata adalah perubahan gelombang siaran dari AM (Amplitudo modulation) menjadi FM (frequency modulation). Gelombang FM dinilai lebih halus dan jernih sehingga popularitas AM tergeser. Namun AM pun kembali muncul, karena terbukti gelombang tersebut mempunyai daya jangkau (coverage) yang lebih luas.
Kemudian revolusi besar yang dialami oleh radio kembali terjadi manakala muncul atau ditemukan Digital Audio Broadcasting (DAB) atau sistem penyiaran berbasis digital, sehingga keterbatasan daya pancar gelombang FM yang awalnya hanya dapat bermain di areal lokalpuun teratasi.
Radio kini bukan lagi broadcasting yang membidik target segmen yang broad atau luas. Kini radio telah berubah dengan segmen yang menyempit dan terfokus. Maka sebenarnya radio bukan lagi sebagai broadcasting, melainkan narrowcasting.


BAB 2.
TEORI DAN MODEL

(Materi Minggu ke 4 Pertemuan Jur. Radio)
Rabu, 6 Maret 2013











Sejauh yang dapat ditelusuri, teori-teori khusus mengenai radio sangatlah sedikit bahkan dapat dikatakan tidak ada. Namun meski demikian, untuk menjelaskan fenomena radio sebagai media komunikasi massa, para cendekiawan atau para ilmuwan lebih  banyak mengacu pada teori-teori komunikasi massa, bahkan teori-teori sosial. Dengan cara itu, semua fenomena komunikasi terkait dengan radio dapat dianalisis dan dijelaskan merujuk pada teori-teori tersebut.

A. TEORI SEPUTAR DAMPAK
Teori-teori semacam ini mencoba mengaitkan proses atau alur komunikasi dengan efek atau dampaknya kepada khalayak.
1.   Teori Peluru Ajaib(The Magic Bullet Theory).
Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang tidak terbatas untuk menembus benak seseorang dengan sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan efek-efek instan.
2.   Teori Efek Terbatas (limited Effect)
Teori ini diangkat oleh Hadley Cantril bersama timnya secara massif sekitara tahun 1940. Hasil Penelitian Cantril mengawali penelitian yang terfokus pada limited effect atau efek terbatas, yang bersandar pada asumsi :
· Peran media massa ditengah masyarakat pada dasarnya terbatas.
· Media terutama Peran media massa dalam kehidupan individu bersifat limited atau terbatas, dll
· Media sebenarnya hanya pelengkap kehidupan manusia, dan tidak menggantikan kehidupan manusia seutuhnya. Manusia masih memiliki kendali mengatur kehidupan

Teori Efek terbatas ini terdiri dari :


- Teori Lingkar Kebisuan (Spiral of Silent)
Teori ini mengasumsikan bahwa orang-orang yang mempunyai pendapat/pandangan berbeda dengan pendapat dominan di media, cenderung akan berdiam diri karena takut ditolak atau tidak diterima lingkungannya, serta takut terpisah atau dikucilkan.
Untuk pihak yang berada di luar lingkaran media, yaitu khalayak pada umumnya yang memiliki pendapat atau pandangan berbeda tersebut, diistilahkan sebagai ‘mayoritas bisu’. Selain itu, teori ini juga membahas bahwa dalam diri khalayak ada persepsi selektif (selective exposure), yaitu bahwa orang mempersepsi pesan media sesuai dengan sikap dan keyakinan yang sudah ada sebelumnya, dan menolak yang dianggap tidak sesuai.
Teori ini biasanya dapat dilihat di runag-ruang pemberitaan. Dalam teori linkar kebisuan ini, hanya ada dua pilihan yaitu : menyingkir atau diam.

- Teori Kultivasi.
Teori ini mengasumsikan ada dua macam realitas. Realitas yang pertama adalah realitas faktual atau kejadian sesungguhnya, sementara realitas yang kedua adalah realitas simbolilk, yaitu gambaran realitas yang ditampilkan media melalui program-programnya.
Penonton atau khalayak media menjadi sasaran kultivasi atau penaman realitas simbolik yang disampaikan oleh media. Ketika mengonsumsi media yang sarat dengan kekerasan dalam intensitas yang tinggi, yaitu menghabiskan waktu sekitar 4 jam dan tergolong kedalam heavy viewer ayau penonton berat, maka dipercaya akan timbul sejumlah efek yang disebut dengan mean world syndrome (sindrom dunia nan kejam), yaitu :
  • Meningkatkan peluang terlibat dalam kekerasan
  • Takut berjalan sendirian dimalam hari
  • Salah satu persepsi mengenai aktivitas penegakan hokum
  • Secara umum, tidak mudah percaya kepada orang lain
Teori Gerbner mengenai kultivasi inipun dapat di adaptasi untuk menjelaskan pengaruh media komunikasi lain termasuk radio, yaitu ketika program populernya dikonsumsi khalayak secara terus menerus.
Teori kultivasi ini tergolong kedalam teori efek terbatas, karena tidak semua khalayak mengalami hipereralitas dan mean world syndrome tersebut. Yang  diasumsikan akan mengalami efek tersebut hanyalah orang-orang heavy viewer saja. Sementara orang yang tidak, tidak akan mengalami efek tersebut.

TEORI TENTANG PERAN
Teori seputar peran mencoba memperlihatkan tentang bagaimana peran media di tengah khalayak, baik dalam lingkup makroskopis maupun dalam lingkup mikroskopis.
1. Difusi Inovasi (diffusion of Innovasion)
Kata difusi meminjam konsep dari ilmu alam, yang dirumuskan Rofger dan Shoemaker (1971) sebagai proses dimana suatu penemuan disebarkan kepada masyarakat yang menjadi sistem sosial. Difusi tersebut mengacu pada penyebaran informasi baru, inovasi, atau proses baru ke seluruh masyarakat. Lalu yang disebut dengan inovasi adalah hal terkait dengan teknologi dan penemuan baru yang menunjang pembangunan.
Teori Divusi Inovasi ini mengandaikan bahwa inovasi akan berpindah dari satu titik ke ktitik yang lain, dimulai dari early adopters ke adopter lanjutan. Teori ini merupakan pengembangan dari teori dua tahap (two step flow of communication).
Terdapat serangkaian proses yang harus dilewati agar inovasi tersebut dapat tersebar secara luas dan menjadi bagian dari masyarakat. Proses tersebut dimulai dari akuisisi informasi, evaluasi informasi, hingga akhirnya mencapai tahap terakhir yaitu adopsi atau penolakan (Nuruddin, 2007 : 190).
Teori divusi informasi ini merupakan teori dengan lingkup makro atau pada lingkup sosial maysarakat yang luas. Contoh penerapan dari teori Divusi Informasi ini adalah :
-                     Sosialisasi program-program pemerintah melalui tokoh-tokoh tertentu baik secrala langsung maupun tidak langsung.
-                     Penyampaian pesan kepada masyarakat dengan menggunacakan cara tersebut dianggap akan lebih efektif.

2. Cognitive Science (Pengetahuan Kognitif)
Berbeda dengan teori divusi inovasi, teori Cognitive Science ini merupakan teori dengan lingkup yang sempit, yaitu lingkup individu. Teori ini populer sekitar tahun 1960-an dan menjadi basis dari penjelasan mengenai bagaimana media massa bekerja dalam taraf kognisi hingga memunculkan efek-efek tertentu pada tataran behavioral yang berupa perilaku atau tingkah laku.
Maka teori ini berjalan berdasarkan pada konsep manusia sebagai homo ludens atau manusia yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya. 
Menurut Albert Bandura, seorang tokoh psikologi Behaviorisme, televisi atau media massa lainnya termasuk radio menampilkan model-model yang menjadi acuan perilaku. Dengan mengamati model-model tersebut, khalayak belajar mengenai mana perilaku atau norma yang pantas, mana yang tidak. Mekanismenya yaitu melalui reward (ganjaran) and punishment (hukuman). Perilaku yang pantas akan mendapatkan ganjaran, sebaliknya, perilaku yang tidak pantas akan mendapatkan hukuman atau sanksi. Dan upaya mengikuti apa yang dilihat, didengar, serta dipelajari dari model yang ditampilkan tersebut, dinamakan dengan Imitasi atau peniruan.

3. Agenda Setting
Teori ini mengasumsikan bahwa agenda media akan mempengaruhi agenda publik. Isu-isu yang banyak diwacanakan di media-media, akan menjadi konsumsi publik, dan akhirnya memicu diskusi diantara mereka.
Dalam konteks lain, agenda media menjadi acuan publik untuk mengagendakan diri, termasuk menjadwalkan waktu. Perumus teori Agenda Setting ini adalah Mc Combs dan Shaw. Intinya, teori Agenda setting ini mencirikan relasi antara media dengan audience, dengan focus pada sisi media.
4. Uses and Gratification Theory
Teori teori Uses and Gratification ini titik fokusnya terletak pada sisi audience. Menurut teori ini justru bukanlah media yang di agendakan oleh khalayak, melainkan khalayak yang diagendakan oleh khalayak. Justru khalayaklah yang yang mempengaruhi tentang seperti apa isi media.
Katz (1974) merangkum logika teori ini dalam komponen-komponen sebagai berikut :
  • Faktor sosial psikologi yang menjadi sumber
  • Kebutuhan atau need, yang memunculkan
  • Ekspektasi atau pengharapan terhadap
  • Media massa atau sumber-sumber lain, hingga mengarah pada
  • Pola terpaan media yang berbeda-beda, hingga menghasilkan
  • Pemenuhan (gratifikasi) kebutuhan dan
  • Konsekuensi-konsekuensi lain, termasuk konsekuensi yang tidak diduga, atau tidak dikehendaki (Mc. Quail & Windahl, 1981 : 77)

5. Teori Normatif media.
Teori ini mengandaikan fungsi-fungsi dan peran-peran ideal media massa, maka teori ini mengasumsikan apa dan bagaimana seharusnya media massa berfungsi dan berperan ditengah-tengah masyarakat.
Dalam teori ini menyebutkan tentang pentingnya public sphere. Public Sphere merupakan sebuah situasi yang memungkinkan public mendiskusikan berbagai hal secara terbuka. Public Sphere atau yang dalam bahasa indonesianya disebut ruang publik, berlangsung ketika warga Negara melaksanakan hal berkumpul dan berserikat, guna mendiskusikan isu hari itu, terutama yang berkenaan dengan masalah-masalah politik. (Mc. Quail)
Karena negara modern menghimpun banyak penduduk, maka ruang public tersebut diwujudkkan dalam bentuk media. Maka media harus menjalankan fungsinya menjadi public sphere atau ruang public yang memberikan manfaat kepada publik.
Teori Normatif yang lain berbicara mengenai tanggung jawab sosial (Social Responsibility Theory). Teori ini mengasumsikan bahwa media massa memiliki tanggung jawab sosial untuk melayani masyarakat. Dengan kekuatan luar biasa yang dimiliki media massa, justru media massa juga dituntun untuk juga memberikan kontribusi yang besar.
Teori normative ini biasanya yang menjadi dasar dari aturan atau undang-undang penyiaran.

6. Teori Dependensi Media (Media System dependensi theory).
Teori dependesi Media karya Ball-Rockeach dan De Fleur (1967) ini merupakan teori yang berupaya menggabungkan semuanya.  Dalam teorinya, memperlihatkan bagaimana kondisi structural masyarakat, akan dapat menentukan potensi efek media dalam diri khalayak. Tepatnya, ada keterkaitan antara ketiganya –media, sistem sosial, dan khalayak. Ketiga hal tersebut sama-sama menimbulkan efek pada khalayak dalam tataran kognitif, afektif, dan behavioral.

Teori Kritis
-      Priming Theory
-      Mainstreaming Theory
-      Fear Effect
-      Desensitization / menurut Djalaluddin Rachmat (Agresi sebagai efek Komunikasi Massa)
-      Chatarsis Theory

Teori wacana kritis dan teori-teori pembingkaian (framing) memperlihatkan bagaimana kekuatan-kekuatan tertentu mengerangka dan membingkai teks-teks  media. Teks media bermacam-macam, bisa berupa berita, artikel, program radio, atau bahkan drama televisi.
Sosiologi media, adalah kumpulan teori yang  memperlihatkan bagaimana media dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar dirinya sendiri. Faktor-faktor tersebut dirangkum oleh Reese dan Shoemaker, yaitu :
1.   Individual, berupa keyakinan, latar belakang pendidikan atau profesi yang dimiliki oleh para pekerja media
2.   Media Routine berupa tata kerja media selaku produser teks
3.   Organisasional, berupa visi-misi atau tujuan yang dimiliki media.
4.   Extramedia, seperti persaingan antar media. Konstruksi siste pasar media.
5.   Ideologi yang mempengaruhi sistem tempat media beroperasi.
Framing adalah pendekatan yang digunaan untuk memahami ‘logika’ pengemasan tersebut dalam versi media itu sendiri. Framing adalah cara media mengonstruksikan realitas yang ditentukan oleh berbagai hal, mulai dari perspektif pembuat berita, kognisi sosial produser teks, sampai pada kategorisasi ‘kita’ dan significant Others. Model Framing inipun dapat juga digunakan untuk menganalisis radio.
Teori Ekonomi Politik
Ekonomi politik adalah pendekatan teoritik yang mencoba memperlihatkan bagaimana sistem-sistem di sekitar kita dipengarui oleh kontrol elit-elit tertentu atas fungsi-fungsi ekonomi. (Murdock, 1989 dalam Baran & Davis, 2006:241).
Ini adalah pendekatan yang berakar dari Marxisme, yaitu bagaimana base mempengaruhi superstructure. Dan Radio juga termasuk kedalam bagian superstructure tersebut. Contoh, betapa faktor ekonomi begitu mempengaruhi  atau menentukan politik dan strategi pengemasan serta penempatan radio, ditunjukan oleh yang namanya rating.
Teori determinisme Teknologi.
Pendukung teori ini beranggapan bahwa teknologi lah yang segalanya.Teknologi yang tadinya hanya difungsikan sebagai alat bantu, akhirnya membentuk user atau pengguna, dan pada gilirannya ‘membentuk’ masyarakat baru mengidnuksi perubahan budaya, serta memengaruhi sistem politik, sosial, dan ekonomi.
Teori Tentang Proses dan Produk
Fokus dari ragam teori ini terletak pada faktor-faktor media yang berkenaan dengan proses produksi produk-produk media.

MODEL DAN KLASIFIKASI
Selain dapat digunakan dalam menjelaskan proses, model juga dapat digunakan untuk menyusun klasifikasi. Berikut ini merupakan penjabaran model-model media komunikasi massa menurut Vivian :
1. Hot-Cool Media Model
Model ini diusulkan oleh Marshall Mc.Luhan (1911-1980). Ia membedakan hot and cool berdasarkan setidaknya oleh dua hal yaitu : (1) definisi yang akhirnya (2) menentukan tingkat keterlibatan khalayak dalam mengonsumsi media massa tersebut.
2. Entertainment-Informational Model
Model ini membagi media berdasarkan pada penekanan isinya, yaitu informasi ataukah hiburan (entertainment). Surat kabar selalu digolongkan sebagai media informasi, sebab isinya lebih banyak memuat informasi dibandingkan hiburannya, tercermin dari banyaknya berita, tajuk rencna, atau editorial, lembar opini atau artikel, karikatur, sampai selingan berupa teka-teki silang. Sementara itu, kaset rekaman dan film dikategorikan sebagai media hiburan karena isinya memang dimaksudkan untuk lebih banyak menghibur. Dan Radio dilategorikan sebagai media hiburan, karena sifat dasar radio yang atraktif dan auditif.
Teori ini memiliki kelemahan, yaitu seiring perkembangan zaman, media semakin mengembangkan diri dengan berbagai program, Hal tersebut menjadikan bias dalam pengkategorian secara baku.
3. Content Distribution Model
Pendekatan Content distribution Model ini tertarik pada amatan seputar industri media. Dengan  begitu kita akan dapat menganalisis keberadaan perusahaan media tersebut, sekaligus memahami isu-isu penting yag melingkupi dirinya sebagai sebuah perusahaan media.
Penekanan jenis-jenis perusahaan media, tersebut Didasarkan pada :
  • Siapa yang memproduksi (content unit)
  • Siapa yang mendistribusikan (distribution unit)
Beberapa perusahaan media lebih berkonsentrasi pada produksi isi, mereka kita kenal sebagai production house, semisal Multivision, Sinemart, dll. Atau perusahaan-perusahaan penerbitan buku, majalah, dan sebagainya. Perusahaan media lainnya berbisnis dengan mengekpoitasi ruang-ruang distribusi media, seperti  toko-toko buku, bioskop, dan jaringan sistem kabel. Di Indonesia contohnya adalah Gramedia, Gunung Agung, Togamas, atau jaringan bisokap Blitz Megaplex, 21, dan televisi kabel.
Beberapa perusahaan kadang-kadang didirikan untuk menyuplai (isi) sekaligus mendistribusikannya. Semuanya ingin dimonopoli, jika sudah begitu, akan menjadi sulit mengaplikasikan distribution model ini secara rigit.

Matural Model
Matural Model ini meperbincangkan tahapan-tahapan media massa., sehingga bermanfaat menjelaskan sejarah dan cara permunculan media komunikasi massa. Matural Model membagi tahapan perkembangan media :
1. Tahapan Inovasi
Ini merupakan tahapan dimana media tersebut baru ditemukan teknologinya. Belum terbayangkan, bahkan oleh penciptanya tentang sejauh mana dan kearah mana media tersebut terus berkembang. Pada radio, tahapan inovasinya berkembang pada sekitar tahun 1800-an dengan ditemukannya beberapa teknologi yang pada akhirnya bermuara pada radio.
2. Tahapan Kewirausahaan
Pada tahapan ini para wirausahawan mulai mengeksplorasi kemunginan-kemungkinan komersial yang bisa dimunculkan oleh bsinis media. Tentu saja, teknologi masih terus bermunculan, tetapi kini lebih terfokus. Menurut Vivian, tahapan ini juga tidak hanya diwarnai oleh eksperimen produk, pasar, dan user dari media, melainkan tahapan ini juga diwarnai dengan perebutan hak paten dan kasus-kasus hokum terkait hal tersebut.
3. Tahapan Stabilitas
Tahapan stabilitas ini tercapai manakala media komunikasi massa tertenu sudah luas dalam hal pemasarannya. Ini tentunya tidak terlepas dari hal pemanfaatannya yang meluas juga.
Mature atau berarti dewasa, artinya media telah melewati ketiga tahapan tersebut, mulai dari inovasi, kewirausahaan, dan stabilitas. Buku disebut-sebut sebagai media yang sudah mature atau sudah dewasa. Selain media kuno yang masih eksis hingga kini, industri buku juga sudah cukup mapan, tidak seperti internet yang masih jatuh bangun, dan banyak berada di tahapan eksperimental.

Elitist Politist Model
Model ini mengkategorikan media massa adalah dengan cara menilai kontribusinya bagi masyarakat, dengan demikian kita dihadapkan pada media elit dan media populis.
Yang disebut sebagai Elitist media atau media elit adalah jenis-jenis media yang berfungsi meningkatkan masyarakat (dalam hal apapun), serta memiliki kontribusi pada pencerdasan budaya. Contohnya : majalah-majalah serius, program televisi yang terfokus pada tema sejarah, rekaman-rekaman musik klasik atau contemporary jazz. Sedangkan populis media adalah jenis-jenis media yang produknya untuk memenuhi kebutuhan dasar yang dikehendaki pasar, seperti tabloid-tabloid sensasional, program reality show, lain sebagainya. Dan Radio bisa tergolong kedalam dua golongan tersebut, tergantung pada visi dan misi yang diterjemahkan kedalam program-programnya. 

Notulensi "Dibalik Frekuensi"



Pemutaran Film dan Diskusi Film Berjudul “Di Balik Frekuensi
Kamis, 07 Maret 2013
Pukul 14.15- 17.45
Di Ruang Utama Aula UNISBA

Acara pemutaran film berjudul “Di Balik Frekuensi” resmi di buka oleh MC dengan di iringi riuh tepuk tangan dari para peserta. Lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan oleh Parama mengalun lembut memenuhi seantero ruang utama aula UNISBA.
Setelah pembacaan ayat suci Al-Qur’an, barulah acara masuk pada sesi sambutan. Kesempatan pertama diberikan kepada Herdian selaku presiden Sepik Kelub. Dalam sambutannya, Herdian memperkenalkan Sepik Kelub dan mengajak teman-teman mahasiswa untuk mengikuti kegiatan Sepik Kelub yang dilaksanakan setiap hari rabu. Herdian juga mengucapkan terima kasih kepada Sepik Kelub dan seluruh pihak yang telah membantu penyelenggaraan acara Pemutaran Film dan Diskusi Film “Di Balik Frekuensi” tersebut.
            Sambutan yang kedua datang dari wakil Dekan Fikom UNISBA, yaitu Ibu Santi Indra Astusi. Dalam sambutannya, Ibu Santipun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam pelaksanaan Pemutaran Film dan Diskusi Film Di Balik Frekuensi. Beliau juga mengucapkan selamat datang di kampus UNISBA kepada Ucu Agustin beserta Komunitas Gambar Bergerak, dan kepada mahasiswa-mahasiswa, serta kepada peserta   lainnya.
Lebih lanjut, Ibu Santi mengatakan bahwa penyelenggaraan acara semacam ini tentunya sangatlah bermanfaat, khususnya bagi mahasiswa di Fikom UNISBA, karena Fikom UNISBA ini lebih mengarahkan mahasiswa untuk nantinya bekerja di media, untuk memiliki idealisme tersendiri, sehingga bisa menghasilkan insight atau pencerahan, mengingat betapa luar biasanya media. Di akhir sambutannya, Bu Santi menyatakan bahwa isi pesan dari film Dibalik Frekuensi akan menjadi materi uts mata kuliah Media Literasi.
            Dan sambutan terakhir yaitu dari Ucu Agustin, yang merupakan sutradara dari film “Behind the Frequency” atau “Di Balik Frekuensi”. Ucu secara pribadi dan sekaligus mewakili timnya juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat. Ucu berharap, berharap semoga pesan-pesan dalam film yang mereka garap tersebut dapat tersampaikan dengan baik dan dapat memberikan manfaat.  Mba Ucu juga meminta kepada peserta dan penonton filmnya untuk menanggapi isi film berupa pernyataan kesan dan pesan tentang film Di Balik Frekuensi, ke Twitter mereka dengan alamat @dbalikfrekuensi. Sambutan Ucu Agustin sangatlah singkat, karena nampaknnya para peserta begitu bersemangat ingin segera menyaksikan film Di Balik Frekuensi.

Pemutaran Film
Riuh tepuk tangan bergema saat MC memberikan instruksi bahwa film Di Balik Frekuensi akan segera diputar. Tepat pada pukul 2.29 WIB, Film pun mulai ditayangkan. Suasana seketika menjadi hening saat lampu ruangan aula UNISBA di padamkan, dan big screen mulai menampilkan gambar-gambar pengantar dalam film. Antusiasme peserta dan seisi ruangan terlihat dari keseriusan mereka menyimak film.
Film Di Balik Frekuensi di awali dengan pemaparan singkat mengenai manfaat yang telah manusia rasakan dari penggunaan frekuensi. Frekuensi sebagai gelombang telah membantu komunikasi menjadi lebih efektif dan efisien, karena menghubungkan satu sama lain. Namun selayaknya air, tanah dan udara, frekuensi sebagai gelombang juga sebenarnya merupakan salah satu aset milik publik yang harusnya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada khalayak luas yaitu rakyat, namun kesadaraan masyarakat luas mengenai hal tersebut masih sangatlah kurang.
Setelah pemaparan singkat mengenai frekuensi tersebut, barulah penonton diajak untuk mulai memahami isi film secara lebih jauh lagi, yaitu diajak untuk memahami keterkaitan frekuensi dan penggunannya dengan realitas yang ada di lingkungan media kita saat ini.

Seperti yang kita ketahui, keberadaan frekuensi yang berupa gelombang telah memberikan kemajuan yang luar biasa pada bidang telekomunikasi dalam hal pengumpulan, pengolahan, dan penyebaran informasi. Dan salah satu diantara sekian media yang membutuhkan frekuensi dalam sistem opersionalnya yaitu televisi.
Secara garis besar, Film berjudul “Di Balik Frekuensi” ini mengangkat dua kasus berbeda namun memiliki ranah yang sama, yakni mengangkat dua kasus yang menyangkut dua stasiun televisi berita swasta tanah air. Kasus yang pertama di angkat atau disorot yaitu kasus Luviana, wartawan metro Tv yang di nonaktifkan bersama beberapa temannya karena menuntut perbaikan kualitas pegawai, dan ingin mendirikan serikat pegawai Metro Tv.
Sedangkan kasus kedua menyoroti Haris Siswandi, korban Lumpur Lapindo yang melakukan aksi jalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta, untuk menuntut keadilan dan pertanggung jawaban PT. Bakrie yang di penuhi seutuhnya. Kasus Hari Siswandi ini menyeret stasiun televisi berita swasta tanah air lain, yaitu Tv One yang tergabung dalam Grup Bakrie.
Keterkaitan di antara dua kasus tersebut yaitu, saat kedua dua kubu stasiun televisi Indonesia tersebut terlihat untuk saling menjatuhkan satu sama lain melalui pemberitaan-pemberitaan di media mereka masih-masing.
Saat Metro Tv tersandung masalah dengan salah satu wartawannya, bernama Luviana yang di berhentikan dan dilarang masuk ke ruang redaksi dengan alasan yang tidak jelas, informasi tersebut diliput dan ditayangkan secara gencar oleh TvOne. Begitu pun saat Luviana mengadakan aksi mencari keadilan dan menuntut hak-haknya, TvOne meliput dan menyiarkannya.
Dan di sisi yang lain, saat Abu Rizal Bakrie yang merupakan pemilik dari TvOne tersangkut masalah lumpur Lapindo, Metro Tv mengekspos dan selalu memberitakan masalah tersebut secara gencar pula. Setiap aksi yang dilakukan oleh korban Lapindo tidak pernah luput dari pantauan Metro Tv. Metro Tv mengambil angle berita lumpur ini dengan menyebutkan lumpur Lapindo, berbeda dengan tvOne yang mengambil angle beritanya dengan menyebutkan lumpur Sidoarjo.
Selain itu, Film Di Balik Frekuensi ini menunjukkan betapa unsur politik dari media televisi itu, begitu mendominasi dalam hal pemberiataan di media tersebut. Metro Tv gencar memberitakan tentang pencitraan Surya Paloh selaku pemilik Metro Tv dan Pemimpin Umum Partai Nasional Demokrat-nya. Sementara itu, TvOne pun demikian. Mereka gencar menayangkan pemberitaan atau pencitraan positif mengenai Aburizal Bakri, dan partai Golkarnya.
Sosok yang pertama ditampilkan dalam film adalah Luviana, setelah setengah bagian dari cerita Luviana di tampilkan, lalu di tampilkan sosok Hari Siswandi. Sosok mereka berdua di tampilkan saling bergantian, namun didominasi penampilan sosok Luviana.
Karena alurnya yang menampilkan dua kasus secara silih bergantian tersebut, membuat cukup rumit, maka agar menjadi lebih mudah untuk di pahami, pemaparan di bagi berdasarkan masing-masing kasus.
Pemaparan pertama yaitu tentang kasus luviana yang kami rangkum dalam tema Luviana dan Metro Tv, lalu yang kedua terangkum dalam tema Hari Siswandi dan Tv One. Namun diakhir tulisan tematik tersebut, akan paparkan mengenai keterkaitan antara kedua kasus tersebut.
Berikut ini adalah ulasan atau pemaparan lebih mendalam mengenai kasus Luviana dan Metro Tv, serta kasus Hari Siswandi dan Tv One.







Luviana dan Metro Tv.
Sosok yang pertama di sorot dalam film ini adala Luviana, seorang wartawan Metro Tv. Di awal cerita dalam film, Luviana menyatakan bahwa ia mempunyai kebanggaan tersendiri bekerja di stasiun televisi berita swasta pertama di Indonesia tersebut. Luviana yakin bahwa dengan bergabung bersama Metro Tv, dia akan mendapatkan banyak pengalaman berharga dan tidak terlupakan.
Luviana telah bergabung bersama Metro Tv semenjak tahun 2009, dan selama itu pula ia bertugas di bagian News Room atau ruang redaksi pemberitaan. Lalu sebagai seorang jurnalis yang kritis, pada sekitaran tahun 2011 ia bersama teman-temannya pernah melakukan diskusi di news room atau ruang pemberitaan, untuk mempertanyakan perihal isi nilai redaksi pemberitaan Metro Tv. Hal tersebut dilakukan, mengingat cukup banyak berita-berita dalam Metro Tv yang tidak objektif dan menjadi semacam politik pencitraan pemilik media Metro Tv, yaitu Surya Paloh bersama Parpolnya – Nasional Demokrat (Nasdem). Kala itu Luviana bersama rekan-rekan mempertanyakan dan menggugat Metro Tv agar menjadi media massa yang netral, tidak ada intervensi kepentingan pribadi dan golongan (parpol) pemiliknya.
Selain itu, Luviana juga merupakan salah satu orang yang paling lantang menyuarakan tuntutan mengenai perbaikan kesejahteraan karyawan. Luviana beserta beberapa rekan-rekan lainnya ingin mendirikan serikat pegawai Metro Tv. Tujuannya yaitu agar para jurnalis-jurnalis Metro Tv memiliki kebebasan berusara, menyebarkan informasi yang se-objektif mungkin,  dan dengan keberadaan serikat pegawai tersebut, maka hak-hak kepegawaian mereka dapat terjamin oleh Metro Tv.
Hasil dari yang telah mereka upayakan, ternyata tidak sesuai ekspektasi. Akibat menyuarakan pendapat dan isi hatinya tersebut, malah membuat Luviana dan rekan-rekannya tersandung kasus yang sungguh ironis. Kasusnya bermula ketika tiba-tiba ia dipindah tugaskan, dari newsroom atau ruang redaksi, ke bagian HRD (human resorce development). Kala itu Ia menolak keputusan tersebut, pasalnya Luviana merasa jiwanya adalah sebagai jurnalis yang berkutat dengan berita, maka tempat yang cocok baginya adalah di news room, bukan di bagian HRD.
Ketika Luviana mempertanyakan apa kesalahan yang di perbuatnya sampai harus dipindah tugaskan, bagian manajemen kepegawaian Metro Tv, tempat ia bertanya justru mengatakan bahwa Luviana tidak punya kesalahan apa-apa. Pada saat itu, pihak Metro Tv secara keseluruhanpun tidak bisa menunjukkan apa kesalahannya.
Meski tanpa bukti mengenai kesalahannya, Luviana tetap tidak diperbolehkan lagi bekerja di bagian news room sebagaimana biasanya. Semenjak tanggal 11 april 2012, ia bahkan sudah tidak diperbolehkan untuk sekedar masuk kedalam ruang redaksi.
Berbagai upaya dialogis dengan pihak Metro, khususnya bagian kepegawaian telah ia lakukan untuk mendapatkan kejelasan mengenai alasan dan kejelasan nasibnya beserta kedua rekannya untuk ke depannya. Tak ada titik temu.  Dialog demi dialog selelui menemui jalan buntu. Status kepegawaian Luviana, dan dua orang lainnya tetap menggantung. Hingga akhirnya beredar kabar bahwa mereka bertiga pun dinonaktifkan sebagai wartawan atau pegawai Metro Tv.
Tentunya hal tersebut sangat mengecewakan, padahal maksud Luviana beserta rekannya itu baik. Mereka menyuarakan dan mengusahakan hak mereka sebagai jurnalis yang notabene adalah seorang pegawai pada pihak Metro Tv. Lalu harapan mereka juga adalah ingin mempunyai media dengan konten siaran yang lebih baik, yang bebas dari intervensi kepentingan pemiliknya. Karena tidak mendapat kejelasan mengenai nasibnya, Luviana berjuang dengan menggelar demo atau orasi bersama kaum buruh yang lainnya. untuk memperjuangkan haknya sebagai jurnalis dan menuntut kepada Metro Tv agar mempekerjakannya kembali.
Selain itu, Luviana berserta teman-temannya juga sudah mengirimkan surat mediasi kepada Surya Paloh yang untuk kedua kalinya. Sampai akhirnya Surya Paloh memenuhi permintaan untuk bermediasi. Dalam mediasi yang di lakukan tersebut, sempat terjadi debat pendapat antara pihak Surya Paloh dan Luviana beserta rekan. Suasana sempat memanas dan mengharukan saat akhirnya Luviana tak kuasa menitikan air mata. Dialog dalam mediasi tersebut menghasilkan keputusan dari pihak Surya Paloh. Saat itu Sura Paloh menyatakan bahwa Luviana bisa kembali bekerja sebagai jurnalis di Metro Tv.

Namun ironis, setelah itu Luviana mendapatkan Surat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari pihak Metro Tv, padahal baru sekitar satu jam yang lalu ia beserta rekan-rekan yang mendukungnya melakukan mediasi dan negosiasi. Alasan pemutusan hubungan kerja tersebut, karena Luviana dianggap telah melakukan pelanggaran berat, yaitu pencemaran nama baik perusahaan Metro Tv dengan melakukan berbagai orasi, juga mengajak teman-teman untuk mendukung kesejahteraan. Dari tindakan Surya Paloh ini, Surya Paloh dianggap pembohong dan melakukan restorasi palsu.
Karena ketidak konsistenan perkataan dan realisasi tersebut, Surya Paloh lalu dianggap sebagai musuh Gerakan Buruh Indonesia, dan sebagai tokoh Restorasi palsu

Hari Siswandi dan TV One.
Kasus kedua yang di munculkan dalam film adalah tentang Hari Siswandi. Hari Siswandi merupakan salah seorang korban dari ribuan korban bencana Lumpur Lapindo. Ia melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan tentang uang ganti rugi yang belum di bayar lunas oleh PT. Lapindo Jaya kepada para korban lumpur, di Porong-Sidoarjo.
Aksi Demonstrasi menuntut tanggung jawab dari PT. Lapindo yang masih merupakan perusahaan milik Grup Bakri tersebut, di realisasikan dengan cara melakukan aksi jalan kaki dari Porong-Sidoarjo hingga ke Jakarta. Dalam aksinya, Hari Siswandi di dukung oleh beberapa rekannya, khususnya keluarganya.
Aksi yang dilakukan atas dasar nekat tersebut, ternyata mendapatkan simpati yang luar biasa dari masyarakat. Hari mengaku, masyarakat yang di temuinya dalam perjalanan dari Porong-Sidoarjo menuju Jakarta, memberikan bantuan moril dan materiil. Sebelumnya Pa Hari dan beberapa temannyapun pernah melakukan aksi protes melumuri badan mereka dengan menggunakan lumpur dari limbah Lapindo.
Perjalanan atau kisah Hari Siswandi berjalan kaki dari Porong ke Jakarta tersebut, tentunya juga menarik perhatian berbagai media. Aksinya terekam dalam sorot kamera dan catatan pena para jurnalis, dan diantara media massa elektonik khususnya televisi, yang terkesan paling tajam menyorot kasus ini adalah Metro Tv. Pemaparan berita yang atraktif dan di kemas secara apik, kerap menghiasi pemberitaannya pada saat itu. Sorotan berbagai media dan khususnya sorotan tajam Metro Tv, tentunya membuat kasus Hari Siswandi yang menuntut keadilan dari Bakrie Grup tersebut, semakin diketahui masyarakat luas.
Citra Grup Bakri, Tv One, dan sosok Abu Rizal Bakri tentunya sangat  terancam, terlebih karena Abu Rizal Bakrie di prediksi akan mengikuti pemilihan presiden di tahun 2014 mendatang. Untuk meminimalisir bola liar yang mulai merebak luas, sempat muncul berbagai macam spekulasi mengenai Pa Hari, spekulasi tersebut muncul khusunya dari pihak Tv One. Dalam sebuah pemberitaanya, Tv One pernah berspekulasi bahwa Pa Hari bukan benar-benar merupakan korban Lumpur Porong-Sidoarjo, bahkan Pa hari Bukanlah orang Sidoarjo.
Hari Siswandi yang mengetahui mengenai pemberitaan tersebut, tentunya marah. Sebagai luapan kemarahannya terhadap pemberitaan Tv One tersebut, jika aksinya sedang direkam oleh para wartawa, Hari tidak mengizinkan wartawan dari media Tv One untuk meliputnya. Ia tidak ingin aksinya tersebut di tampilkan di Tv One lagi. Baginya Tv One telah menyebarkan berita kebohongan berkaitan dengan dirinya.
Namun sebuah manipulasi sepertinya telah di lakukan oleh pihak Bakrie dengan menggunakan Tv One sebagai alat pencitraan atau pemulihan nama baik. Setelah pemberitaan demi pemberitaan mengenai Hari Siswandi dan Bakri beserta Tv One tersebut makin merebak, Pa Hari Siswandi yang ketika itu sudah sampai di Jakarta, muncul dalam sebuah acara Berita Malam di Tv One. Dalam acara berita yang berskala siaran secara nasional tersebut, Pa Hari justru menyatakan hal yang sebaliknya dari apa yang ia suarakan selama ini di jalanan dari Porong Sidoarjo menuju Jakarta.
Hari Siswandi yang kala itu hadir dengan ditemani oleh Istri dan anaknya, menyatakan permohonan maafnya kepada publik, khususnya kepada pihak Abu Rizal Bakrie dan Tv One. Ia mengaku bahwa selama ini ia salah dan keliru telah menjelek-jelekkan nama Abu Rizal Bakrie kepada publik.Dan Dalam acara berita tersebut, Pa Hari justru malah berterima kasih kepada pihak Bakrie. Setelah pernyataannya tersebut, Bapak Hari tidak kembali ke Sidoarjo dan tidak diketahui keberadaannya.

 Korelasi dari kedua tema tersebut
Dalam film dokementer berjudul “Di Balik Frekuensi” tersebut, kasus Luviana dan kasus Hari Siwandi, di munculkan secara bergantian. Dengan demikian penonton seakan diajak untuk membandingkan, mencari perbedaan, dan menemukan pula persamaan bahkan korelasi diantara dua kasus yang menyangkut dua stasiun televisi berita swasta tersebut.
Secara singkat, Film Di Balik Frekuensi menyoroti tentang ketidak berimbangan Metro Tv dan TvOne dalam menyajikan berita, juga menyoroti tentang betapa praktik konglomerasi sangatlah sulit untuk dilawan. Maka dibutuhkan keterlibatan atau kejasama berbagai pihak.
Di penghujung film juga di paparkan tentang media-media yang berkembang di Indonesia, dari radio, televisi, cetak, dan yang sedang tren saat ini adalah media online. Media-media yang berkembang di Indonesia tersebut hanya dimilki oleh 12 orang saja, dengan kata lain telah terjadi konsentrasi kepemilikan media yang dikenal dengan istilah konglomerasi media. Konglomerasi media dan penguasaan frekuensi publik oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik politik, maupun finansial, tentulah sangat berbahaya, karena renan dengan penyalahgunaan untuk kepentingan golongannya masing-masing. Padahal media massa merupakan sesuatu hal yang harus berpihak pada kepentingan masyarakat luas, khusunya yang tertindas. Maka, konglomerasi media yang saat ini semakin menggurita di ranah media Indonesia, sangat ditentang oleh para wartawan yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI). 
Epilogue Film
Bagian akhir cerita atau epilog film memberikan hiburan kepada para peserta, terbukti dengan gelak tawa dari para peserta saat melihat bagian akhir ini.
Pada bagian epilog, film ini menampilkan mahasiswa-mahasiswa yang baru  saja di wisuda. Mahasiswa-mahasiswa tersebut masih memakai baju toga dan atribut yang lengkap –khas wisuda. Lalu ada seorang mahasiswi yang diwawancara mengenai harapan kedepannya tentang dunia kerja. Mahasiswi tersebut menjawab bahwa setelah lulus tersebut, ia ingin bekerja di media.
Setelah itu ditampilkan pula seorang pria bernama Ucup, yaitu salah seorang pria yang baru lulus kuliah dan akan mencari kerja di media. Di tampilkan bahwa dia akan melamar kerja ke Metro Tv. Ucup berangkat dari Bandung ke Jakarta dengan menggunakan kereta.
Dengan ekspresi yang polos dan menggemaskan, tokoh bernama Ucup tersebut, menyatakan bahwa “In media, we trust! Harusnya media itu memberikan fakta yang bukan fuck you! To informs, to educate, dan peran-peran lainnya” gelak tawa dan tepuk tangan seisi ruangan pun menggema mendengar perkataan Ucup tersebut.
Dialog Ucup ditutup dengan kata-kata yang kali ini membuat penonton di ruangan aula UNISBA nampaknya terhanyut. Ucup menyatakan, jika nanti dia sudah menjadi seorang jurnalis, ia akan menjadi jurnalis yang memanusiakan manusia dan mengembalikan imej media yang dulu. Ia akan berusaha sebisa mungkin menampilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat.
Gambar dalam film berganti dengan gambar berwarna hitam pekat. Dalam layar yang berwarna hitam pekat tersebut, terdapat beberapa tulisan penutup dari film, yang intinya menyebutkan bahwa “Setiap tahun ribuan sarjana (baru) mencari kerja di dunia media”. Maka pengetahuan mendalam mengenai dunia media yang sesungguhnya jelas haruslah dimiliki. Lalu ada pula tambahan kata kata yang bertuliskan “Cerita dalam film Di Balik Frekuensi ini merupakan sedikit dari sekian banyak cerita di balik realitas frekuensi media.”
Tepat pada pukul 16.50 wib, Film berjudul “Dibalik Frekuensi” pun selesai. Suasana saat pemutaran film yang di dominasi oleh keheningan, langsung berganti dengan riuh tepuk tangan dari seisi ruangan aula UNISBA. Tentunya hal tersebut menandakan apresiasi yang positif dari para penonton terhadap film. Lampu ruangan pun kembali menyala, dan ruangan pun kembali terang oleh sinar lampu.





Pengantar Diskusi
Menonton tayangan film ini pasti tidak lengkap tanpa adanya diskusi. Sesaat setelah film selesai di tayangkan, diskusipun dimulai, tepatnya dimulai pada pukul 16.56 WIB. Dalam sesi diskusi tersebut, para peserta yang hadir boleh mengajukan tanggapan ataupun pertanyaan seputar film Di Balik Frekuensi yang telah telah ditayangkan. Sesi diskusi pun dibuka dengan menghadirkan Ibu Santi Indra Astuti, mba Ucu Agustin, dan mba Ula. 
Yang pertama kali angkat bicara dalam sesi ini adalah Mba Ucu Agustin selaku produser film Dibalik Frekuensi. Pemaparan oleh mba Ucu diwarnai tepuk tangan saat mba Ucu menyampaikan statementnya bahwa tidak perlu ijin saat mengambil gambar untuk pembuatan film ini, mereka hanya meminta ijin kepada Luviana saja untuk dapat direkam segala aktivitas dalam memperjuangkan haknya tersebut. Selain itu, mba Ucu juga mengatakan bahwa pasti ada sesuuatu yang tidak diketahui oleh kita atau masyarakat umum di balik media, dan Tv itu bisa begitu saja membolak-balikkan berita atau kenyataan yang sebenarnya. Selebihnya, mba Ucu memaparkan tentang hal-hal berkaitan film yang di directnya tersebut.
Berbicara mengenai proses, film Di Balik Frekeunsi tentunya memakan waktu yang sangat lama. Karena filmnya merupakan film dokumenter, maka semua hal berkaitan kasus-kasus yang dipaparkan di dalamnya tentu merupakan hal nyata. Data-data berupa fakta di dapat langsung, dan ada pula yang merupakan tambahan dari hasil riset atau penelitian pihak lain.
Mba Ucu memaparkan, semenjak peristiwa kehadiran Hari Suwandi di tv One, dan mengklarifikasi kekeliruannya karena telah memaki atau menghujat Abu Rizal Bakrie, Hari seakan menghilang ditelan bumi. Jejaknya sulit ditelusuri, sehingga tidak dapat lagi di konfimasi lebih lanjut oleh jurnalis lainnya dan oleh Ucu berserta tim.
Tanggapan mengenai film selanjutnya datang dari bu Santi Indra Astuti. Tepuk tangan sangat meriahpun menghangatkan suasana, saat ibu Santi menyampaikan statement “syukurlah saya bukan jurnalis, tetapi saya adalah orang yang memarahi para mahasiswa calon jurnalis”. Menurut bu Santi, Film Dibalik Frekuensi ini merupakan film yang luar biasa, karena secara real memotret realitas kehidupan media yang sebenarnya, juga di kemas secara menarik dan artistik. “Kalau kita belajar di kelas, kita akan mendapati  bahwa yang dipelajari merupakan sesuatu yang sangat ideal, sangat textbook. Akan tetapi setelah realitas di lapangan, itu malah sebaliknya.” Begiulah ucap bu Santi.
Selain itu, bu Santi juga mengatakan bahwa melalui film tersebut, kita jadi dapat melihat secara lebih jelas mengenai manajemen atau strategi mengelola isu yang dilakukan sangat baik sekali oleh Metro  Tv dan Tv One. Media pada kenyataannya telah menciptakan sebuah industri luar biasa yang bernama korporasi. Kita juga dapat melihat betapa hukum yang di dirikan di Indonesia belum banyak berpihak pada kepentingan publik.
            Pesan lain yang terkandung dalam film inipun memanamkan bahwa ketika ingin menjadi seorang pekerja dalam bidang informasi, kita harus dapat menjalankannya secara kaffah atau menyeluruh. Beliau berharap semoga masih banyak pula orang-orang yang nantinya akan membuat film-film seperti “Di Balik Frekuensi” tersebut.

Sesi Pertanyaan dan Diskusi
Pemaparan singkat dari para pembicara mengenai tanggapan film, kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Peserta yang hadi masih terlihat antusias menyimak jalannya acara, karena saat sesi pertanyaan dan diskusi benar-benar di buka,  riuh tepuk tangan kembali bergema, menghangatkan suasana.
Penanya pertama adalah Kania, mahasiswa dari Jurnalistik UNPAD. Di depan podium, Kania menyampaikan pertanyaannya tentang bagaimana mulanya tema frekuensi  dapat menarik perhatian Mba Ucu, Mba Ulla dan tim untuk kemudian mengangkatnya kedalam sebuah film? Lalu bagaimana hingga akhirnya dapat mengaitkannya dengan korporasi media?
Pertanyaan tersebut langsung ditanggapi oleh Mba Ucu, yang memberikan jawaban yang cukup mendetail. Menurut Mba Ucu, Film Di Balik Frekuensi dibuat berdasarkan dari data riset, dan dalam perjalanannya, mereka  juga mendapatkan dukungan dari oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan tentang media. 
Yang di ambil lalu ditayangkan tersebut bukan sekedar kesimpulan pribadi, tetapi hasil riset mengenai 12  konglomerasi media yang ada. Data-data dalam film merupakan hasil riset kelompok riset mas Anwar Nugroho – seorang pakar Inovasi media dan pembangunan dari Mancharster University. Kelompok atau lembaga riset tersebut bernama CIPG. Mereka melakukan Risetnya sekitar setahun dua tahun, dengan hasilnya yang demikian.
Mba Ucu menerangkan bahwa sebenarnya riset  yang dilakukan oleh pihak CIPG tersebut berawal dari gosip-gosip atau quote-quote di kalangan jurnalis media sendiri. Lalu Lembaga riset CIPG ingin agar gossip-gosip atau quote-quote atau percakapan dikalangan jurnalis media tersebut dapat dikutip secara intelektual dalam format yang bisa dinikmati oleh banyak orang. Bahkan mereka membuat/melakukan riset yang resmi, dan hasil risetnya dapat di download oleh teman-teman di CIPG secara gratis. Saat Mba Ucu beserta tim dari Komunitas Gambar Bergerak hendak memfilkannya dalam film dokumenter “Di Balik frekuensi” tentunya pihak CIPG sangat mendukung.
Lebih lanjut Mba Ucu mengatakan bahwa Isu-isu mengenai Frekuensi seperti itu sebenarnya sudah sangat di ketahui secara luas di kalangan media. Bagi mereka, itu merupakan isu yang tidak baru, tapi isu tersebut selalu di coba untuk di tutup-tutupi oleh pihak media, dan publik tidak dapat mengaksesnya. Berangkat dari hal tersebut, Ucu dan kawan-kawan di komunitas gambar bergerak  ingin share atau berbagi pengetahuan itu melalui film Di Balik Frekuensi kepada teman-teman mahasiswa yang ingin mengetahuinya.
Dari segi judul film, Ucu dan teman-temannya di komunitas Gambr Bergerak sempat juga mengalami kebingungan atau dilema menentukan judul yang pas untuk film. Film sempat diberi judul “Frekuensi Public”. Akan tetap karena judul tersebut diangap kurang mencakup seluruh isi cerita dalam film, akhirnya tim menemukan judul dianggap pas, yaitu “Di Balik Frekuensi” . Judul tersebut merangkum segala hal di balik media yang menggunakan frekuensi dalam operasionalnya. Di tengah-tengah saat menyampaikan jawabannya tepuk tangan tidak henti-hentinya bergemuruh.
Pertanyaan kedua disampaikan oleh seorang koresponden dari majalah TEMPO yang bernama Galih. Sebeum mengutarakan pertanyaan, Galih terlebih dahlu mengutarakan apresiasinya terhadap film Di Balik Frekuensi. Menurutnya tersebut merupakan film yang baik untuk dipublikasikan kepada publik sebagai bentuk edukasi. Bahkan dapat menjadi bahan edukasi untuk para jurnalis serta para calon jurnalis.Setelah mengemukakan apresiasinya itu, barulah Galih mengutarakan pertanyaannya. Galih menanyakan bagaimana menghadapi tekanan dari atasan atau pemimpin korporasi? Dimana dalam melawan tekanan tersebut biasanya terdapat ancaman terhadap jurnalis?
Ketika pertanyaan tersebut dilayangkan, Mba ucu langsung menanggapi bahwa jawaban dari pertanyaan Galih tersebut seharunya di jawab langsung oleh Mba Luviana, karena mba Luviana merupakan  praktisi jurnalis. Tapi karena saat itu Luviana belum hadir di ruangan, maka Mba Ucu sedikit menanggapi dan sedikit memberikan jawaban.
Sebelum menjawab pertanyaan, Mba Ucu memberikan sekilas pengetahuan atau sekilas informasi, bahwa TEMPO merupakan satu-satunya media yang kontributor atau korespondennya memiliki serikat pekerja. Serikat pekerja tersebut bernama SEPAKAT (Serikat Pekerja Koresponden TEMPO). Mba ucu menambahkan, dari ribuan usaha media yang ada di Indonesia Hanya 34 saja yang memiliki serikat pekerja. Dan salah satunya adalah TEMPO dengan Serikat bernama SEPAKAT tersebut.
Lalu jawaban yang diutarakan oleh Mba Ucu atas pertanyaan galih yaitu : ada 2 hal yang dapat kita lakukan dalam menghadapi tekanan dari pemilik media tersebut. Pertama harus tetap pintar, dan yang kedua adalah harus tetap professional. Dengan kepintaran yang tetap dipertahankan, jurnalis tidak akan bisa di bodoh-bodohi. Lalu cara yang kedua adalah tetap profesional, dengan begitu jurnalis akan tetap menjadi jurnalis yang rajin, memiliki banyak relasi serta informasi.
Lalu Mba Ucu meminta Bu Santi untuk memberi tanggapan atas pertanyaan Galih tersebut. Dengan lugas bu Santi menyatakan bahwa media-media korporasi atau kapitalis tersebut rasanya memang mengintimidasi pada kebebasan bersuara para jurnalis. Tapi kita juga harus menyadari, bahwa kita hidup dalam dunia dimana praktik-praktik jurnalistik tidak hanya dijalankan oleh industri-industri mainstream berskala besar seperti media-media korporasi yang kapitalis.
“kita juga bisa kok berinterpreneur dengan informasi. Sekarang juga sudah mulai berkembang juga kan citizen journalism atau jurnalisme warga. Dan dibanyak tempat, Kita harus juga ingat bahwa gerakan citizen journalism juga memiliki kekuatan atau powerfull juga. jurnalisme warga juga bisa sama ampuhnya dengan jurnalisme mainstream, atau korporasi-korporasi media. Dengan demikian, Kita juga bisa sama-sama untuk kemudian menyajikan kepada masyarakat mengenai informasi yang cerdas, menyehatkan dan objektif. Independen.tidak dsetir oleh korporasi-korporasi media dengan berserikat men pekerja media yang juga independen.” Jelas bu Santi.
Tepat pada pukul 5.16 WIB, pun mba Luviana hadir di aula utama UNISBA, kebetulan Diskusi mengenai Film masih berlangsung. Kedatangan Luviana tersebut disambut dengan riuh tepuk tangan yang menggema di seisi ruangan, menandakan antusiasme orang-orang yang hadir.
Beberapa saat setelah tiba, mba Luviana langsung di todong dengan pertanyaan dari Galih, koresponden TEMPO, yang sebelumnya sempat di jawab pula oleh Ucu Agustin dan Ibu Santi. Pertanyaan yang diajukan pula pada Luviana yaitu bagaimana menghadapi tekanan dari atasan atau pemimpin korporasi? Dimana dalam melawan tekanan tersebut biasanya terdapat ancaman teradap jurnalis?
Setelah mengucapkan terima kasih, kemudian Luviana mengucapkan permononan maafnya karena datang terlambat ke tempat acara. Tanpa berlama-lama, Luviana langsung menjawab, bahwa dalam konteks demikian, sesungguhnya bila memiliki kekuatan seperti temen-temen di buruh pabrik yang biasanya memiliki serikat pegawai, maka melawan tekanan dari pemimpin itu sesungguhnya diperbolehkan. Tidak-kenapa-kenapa, karena ketika ada satu buruh yang melawan, sesungguhnya ada seribu buruh lainnya di belakang dia untuk membantu melawan. Namun yang demikian justru sulit terjadi di media. Teman-teman jurnalis di media tempat kita berada, sulit diorganisir untuk membantu kita.
Jadi kuncinya adalah memang harus menggunakan taktik atau strategi. Ada banyak strategi yang dapat dilakukan, bisa strategi satu lawan Satu, dimana maju sendirian, lalu dengan resiko di PHK secara langsung. Selain itu juga dapat menggunakan strategi melingkar (diskusi duduk bersama), mengorganisir teman-temen, mengkonsolidasi, dan maju bersamaan. Tapi karena teman-teman di media yang bersangkutan biasanya sulit untuk bertindak sesuai ekspektasi, dapat pula melancarkan strategi lainnya yang berupa meminta bantuan pihak lain, di luar media tempat kita bekerja.
Luviana menuturkan, ketika menghadapi kasus tersebut, ketika segala upaya merangkul teman-teman gagal dan mereka tidak dapat berkontribusi banyak, yang kemudian pertama di hubungi oleh Luviana adalah teman-teman di KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Luviana juga meminta bantuan dari Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) pusat.
Menurut Luviana, bergerak bersamaan dan masuk dalam sebuah organisasi merupakan sebuah jawaban. Luviana mengaku beruntung bergabung bersama AJI, karena tempatnya bekeja saat itu (Metro Tv) tidak mempunyai serikat pekerja didalamnya. Dengan bergabung bersama organisasi atau AJI, Luviana mempunyai rekan-rekan yang siap membela bila terjadi ada apa-apa nanti.
Luviana juga menuturkan bahwa AJI memiliki ikatan organisasi yang kuat semenjak tahun 1996. Luviana dan rekan-rekan lainnya di AJI bersama-sama selalu mengkampanyekan wartawan anti amplop, memperjuangkan kebebasan pers, memperjuangkan serikat pekerja, dan hal-hal lainnya yang layak untuk diperjuangkan sebagai seorang jurnalis.
Berkaitan mengenai upaya melawan tekanan, Luviana mengatakan, jika diantara semua strategi advokasi tersebut sudah dilakukan, dan tetap tidak digubris, maka pilihannya adalah berjuang secara terang-terangan dengan melakukan berbagai publikasi secara luas.
Pertanyaan ketiga di sampaikan oleh Ayub, Mahasiswa Fikom UNISBA. Seperti halnya beberapa penanya sebelumnya, Ayub pun memberi tanggapan terlebih dahulu mengenai Film Di Balik Frekuensi. Baginya, Film Di Balik Frekunsi tersebut juga merupakan film yang menarik, karena membuka aib media. Lalu yang menjadi pertanyaanya adalah bagaimana reaksi dari para pekerja media ketika melihat film tersebut?
Yang menjawab secara lugas pertanyaan dari Ayub ini adalah Mba Ucu. Mba Ucu megatakan bahwa sebelumnya film Di Balik frekuensi yang mereka garap juga pernah diputar di Komnas Perempuan, LBH Jakarta, dan juga ditayangkan di  Dewan Pers, yang artinya film tersebut telah di tonton oleh para jurnalis atau rekan media. Jurnalis atau praktisi media yang hadir di Dewan Pers saat itu terdiri dari berbagai media. Ada yang berasal dari media luar bahkan ada juga rekan-rekan jurnalis dari medianya Metro Tv dan Grup Bakrie (TvOne, Antv).
Dari pengamatan Mba ucu dan Komunitas Gambar Bergerak sejauh ini, belum ada respon negatif dari rekan-rekan media tersebut. Film ini merupakan film untuk semua, bukan bermaksud untuk sangat memojokkan, tapi mencoba memperlihatkan realitas di lapangan saja. Film ini merupakan salah satu upaya desakralisasi media. Bahwa selama ini media dianggap mulia dengan menyampaikan berbagai informasi. Maka dengan adanya film ini, diharapkan khalayak menjadi lebih kritis dan cermat menanggapi media.
Mba Ucu mengatakan bahwa film ini dengan sudut pandang luas, dengan tetap mempertimbankan tentang bagaimana caranya agar media juga tetap memiliki citra yang positif. Walau bagiamanapun, kehadiran media juga sangat dibutuhkan. Ia menekankan, bahwa media sesungguhnya adalah partner dalam mengembangkan demokrasi. Maka tugas kita adalah memperbaiki keadaan media bila ternyata media sendiri sudah tidak demokratis.
Pertanyaan Ayub ini merupakan pertanyaan terakhir, padahal masih ada tiga orang yang ingin bertanya. Namun karena sudah sampai di penghujung acara, pertanyaan pun bisa dilanjutkan di belakang panggung saja.
Karena di awal acara Bu Santi menjelaskan bahwa Materi Pemutaran Film dan Diskusi Film “Di Balik Frekuensi” ini akan menjadi materi bagi UTS mata kuliah Media Literasi, maka Mba Ucu berpesan kepada para mahasiswa untuk menshare materi yang di dapat tersebut di ruang dunia maya. Boleh di publikasikan atau di upload di facebook, blog, twitter, atau bisa juga mengirim email ke pihak mereka. Hal tersebut merupakan upaya untuk semakin mengkampanyekan secara  luas tentang mengenai realitas media dan untuk berbagi tentang apa pun yang di dapat dari acara tersebut.
Pemutaran Film dan Diskusi Film “Di Balik Frekuensi”, yang persembahkan oleh Sepik Kelub beserta Fakultas Ilmu Komunikasi UNISBA pun selesai. Acarapun di tutup secara resmi dengan penyerahan tanda terima kasih berupa souvenir dari pihak UNISBA kepada Ucu Agustin (sutradara Di Balik Frekueni) Mba Ula (Komunitas Gambar Bergerak) dan Luviana. Tepat pada pukul 17.37 WIB, acarapun benar-benar berakhir. Seketika ruangan Aula UNISBA menghangat dengan riuh tepuk tangan yang merupakan bentuk apresiasi atas penyelenggaraan Pemutaran Film dan Diskusi Film “Di Balik Frekuensi”, dan juga sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras Mba Ucu dan Tim menyajikan film yang berkualitas.

Sebelum membubarkan diri dan meninggalkan ruangan aula UNISBA, para peserta, khusunya mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Media Literasi menandatangani absen kehadiran dari dosen masing-masing terlebih dahulua. Maka suasana aula menjadi ramai dengan mahasiswa yang mengantri giliran untuk menandatangani absensi.

Selesai.