Ketika Media Mengorbankan Korban Bencana
Seperti
yang kita ketahui, pada Selasa 2 Juli 2013 lalu, Gempa bumi berkekuatan 6,2 skala
richter kembali mengguncang tanah Aceh. Aceh kembali berduka, dan dalam
peristiwa tersebut media massa berkontribusi positif karena memberitakan suatu
peristiwa penting secara aktual kepada masyarakat luas.
Keberadaan
media memang sangat di butuhkan, oleh karenanya media tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan masyarakat yang hidup di abad ke 20 ini. Melalui keberadaan
media (massa), manusia yang memiliki keterbatasan jangkauan alat indra, dapat
mengetahui lebih banyak hal di luar jangkauan ruang dan waktunya. Oleh
karenanya, media pada dasarnya merupakan perpanjangan alat indra manusia. Radio
yang sifatnya audio, merupakan perpanjangan dari indra pendengaran atau
telinga, dan media cetak yang bersifat visual merupakan perpanjangan dari indra
mata sebagai indra penglihatan. Kemudian munculnya televisi serta kecanggihan
internet dengan sifatnya yang interaktif karena dapat menampilkan pesan
berupa rangsangan audio dan visual sekaligus, semakin mengukuhkan posisi media
sebagai perpanjangan indra manusia. Media di tuntut peka, kritis dan tanggap
untuk memberitakan suatu kejadian penting, mulai dari acara seremonial,
terlebih memberitakan peristiwa bencana.
Namun
di samping berbagai kontribusi positif yang dirasakan oleh masyarakat berkat
keberadaan media, media juga melakukan kerap melakukan kelalaian. Dalam tayangan
berita di sebuah stasiun televisi swasta, kamis – 4 Juli 2013 kemarin, tampak
seorang reporter yang bertugas meliput bencana di tanah Aceh pasca bencana
Gempa bumi berkekuatan … skala richter yang kembali mengguncang Aceh sedang
mewawancari seorang korban bencana. Sosok korban tersebut adalah seorang bapak,
wawancara di lakukan dengan setting puing-puing bangunan yang sudah rata dengan
tanah.
Dalam
dialog wawancara tersebut, sang reporter menanyakan mengenai kronologis
kejadian bencana gempa yang berlangsung di awasan tersebut. Si Bapak yang merupakan
korban pun bersedia menceritakannya. Pada awalnya, pemaparan tersebut terkesan
tenang. Lalu sampailah hingga si bapak tersebut mengatakan bahwa purtrinya
menjadi korban, yaitu tertutupi oleh puing-puing bangunan rumahnya. Di saat
demikian, si bapak korban tersebut langsung merasakan haru. Ia tidak kuasa
menahan air matanya, sebagai ekpresi kesedihannya. Dan bapak tersebut
mengatakan “sudah saya tidak kuasa menceritakannya lagi” dengan di selingi
bahasa daerah Aceh. Tapi reporter yang mewawancarainya tersebut langsung
mengganti topik pertanyaan. Dan lagi-lagi untuk pertanyaan yang di harapkan
berupa deskripsi dari korban tersebut, korban kembali menyatakan kalau ia tidak
lagi mampu berkata-kata. Sang Reporter lagi-lagi seakan tidak memperdulikan keadan
psikologis orang yang sedang di wawancarainya tersebut.
Ketika
melihat adegan dalam tayangan berita di layar kaca televisi tersebut, saya
langsung teringat pada kriteria Dosa-dosa Media yang di paparkan seorang
wartawan senior bernama Ahmad Arif dalam bukunnya yang berjudul “Jurnalisme
Bencana, Bencana Jurnalisme”. Buku tersebut menceritakan mengenai sekelumit
peristiwa jurnalisme pada bencana tsunami Aceh yang melanda 26 Desember 2006
lalu.
Berdasarkan
pengalamannya, Ahmad Arif menuturkan bahwa suatu aktifitas jurnalistik yang
tidak pada tempat dan porsinya justru dapat menimbulkan bencana di tengah
bencana yang sedang terjadi. Bencana Jurnalisme tersebut di istilahkan Ahmad
Arif dengan istilah Dosa Media. Dosa media dalam sebuah bencana, salah satunya
yaitu seorang wartawan tidak jarang mencecar korban bencana yang berstatus
sebagai sumber berita dengan berbondong pertanyaan-pertanyaan tanpa rasa empati
terhadap korban yang jelas-jelas sedang berada dalam kesusahan dan kesedihan.
Lebih
lanjut ia memaparkan pertanyaan kritis, atau bahkan jangan-jangan itulah pesan
sang produser kepada sang reporter, yaitu mendesak agar narasumber sampai
menangis, bahkan harus sampai meraung-raung demi untuk mengejar efek dramatis ?.
Selama
ini, berita tanpa kesedihan dapat dikatakan sebagai “berita buruk” bagi para jurnalis.
Sebaliknya, berita yang sarat dengan air mata dan darah, telah menjadi “berita
baik” bagi para pelaku media karena tema tersebut dipercaya sangat laris
dijual. Bad news is good news.
Kemudian
Ahmad Arif mengajak pembaca untuk membaca lebih mendalam mengenai pengalamannya
saat mencoba mengorek informasi dari Nurleli,
seorang korban tsunami Aceh yang harus mengalami cacat karena kakinya harus
diamputasi. Saat itu Nurleli tidak ingin di wawancara, karena ia merasakan
capek selalu di cecar dengan pertanyaan wartawan sementara hidupnya sendiri
tidak banyak berubah.
Pengalamannya tersebut menyadarkan
Ahmad Arief bahwa korban bencana bisa sekaligus menjadi korban media jika
wartawan kehilangan rasa hormat kepada narasumbernya, dan hanya menganggap
mereka sebagai objek peliputan semata.
Berdasarkan
hal tersebut, kemudian dapat disimpulkan bahwa apa yang di tayangkan dalam
pemberitaan sebuah stasiun televisi swasta 4 juli 2013, kemarin merupakan salah
satu bentuk dosa media. Jangan sampai aktifitas jurnalistik menjadi bencana di
tengah bencana.