Nama : Fika Pertiwi
NPM : 10080010042
Kelas : A
Mata Kuliah : Arkurifai Baksin
Genre Tulisan :
Cerpen
Bertemunya
2 Mata
Hari
ini adalah hari sabtu, kebetulan adalah hari pertama di bulan ini- Maret. Pagi
ini, tidak ada rintik hujan, pun tidak ada terik matahari. Yang ada adalah
kumpulan awan sendu berwarna pudar, serta hembusan angin yang cukup kencang
sehingga mampu membuat pohon-pohon berdiameter tidak terlalu besar menjadi
bergoyang seperti akan tumbang.
Seorang
wanita paruh baya melihat suasana di luar rumahnya, dari balik kaca jendela.
Lalu ia membalikkan badan, dan berjalan ke arah putrinya yang sedang berdandan
di depan cermin “kalo bisa jangan kemana-mana Ren, mendung dan banyak angin
gitu, nanti kamu sakit”.
“Ngga
apa-apa mah, ngga usah khawatir. Apa bedanya sama cuaca cerah yang panas atau
cuaca-cuaca lainnya? Kalo emang harus sakit ya sakit aja” jawab Rena sambil
tersenyum dan merangkul mamanya. “mama ini kaya ngga tau Rena aja”.
Wanita
paruh baya itupun terdiam sejenak. Nampak berpikir sambil menerawang. “justru
karena mama tau kamu. ya sering-sering bolos buat pergi kesana di hari sabtu
kan ngga akan kenapa-kenapa”
“ngga
ah ma, Rena tetep mau pergi. Rena lagi semangat banget nih hari ini!” Rena
cengengesan. Matanya berbinar-binar.
“yaudah deh gimana kamu, tapi hati-hati ya.
Jangan lupa jaket tebal, jas hujan, dan payungnya, takut hujan besar. Jangan
pulang kesorean!”
“Oke
ma! Rena pasti pulang sebelum sore, soalnya harus ngerjain materi buat rapat di
kantor lusa.”
Setelah
selesai berdandan, Rena segera mengambil tas ransel dan peralatan lainnya yang
mungkin nanti akan dia butuhkan. Lalu iapun bergegas pergi.
Karena
masih cukup pagi, jalanan didekat rumahnya masih lengang. Terlebih cuaca pagi
itu memang tidak cerah, melainkan mendung dan berangin, sehingga membuat
kebanyakan orang nampaknya malas untuk melakukan aktivitas di luar rumah bila memang tidak benar-benar penting,
atau bila memang tidak benar-benar terpaksa.
Namun
bagi Rena, cuaca seperti apapun tidaklah masalah. Baginya cuaca cerah yang
terik, maupun mendung ber-angin, bahkan cuaca hujan sekalipun tidak akan bisa
menghentikannya untuk pergi ke bukit belakang rumahnya tersebut di hari sabtu.
Yang bisa menghentikannya, hanyalah jika ia sedang benar-benar memiliki
kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan, dan hanya bila dia sedang sakit saja.
Rutinitas
berkunjung ke bukit pada setiap hari sabtu tersebut, sudah Rena lakukan
semenjak kecil, semenjak ia menemukan bukit tersebut bersama sahabatnya bernama
Risa, tepat di hari sabtu. Ketika itu mereka masih bocah kelas 6 SD yang lugu
dan senang mencari serta menemukan tempat-tempat baru. Di setiap Sabtu mereka
selalu datang ke bukit, dan menghabiskan waktu disana hingga sore. Tapi sayang,
Risa meninggal karena sakit saat kelas 2 SMP.
Sebenarnya
sesaat sepeninggal Risa, rutinitas Rena berkunjung ke bukit di hari sabtu
tersebutpun sempat terhenti selama beberapa bulan. Alasannya karena ia tidak
kuasa menahan kesedihan manakala berada di tempat yang penuh dengan kenangan
akan kebersamaan bersama Risa. Kala itu, Rena masih belum bisa menerima
kenyataan, dan terkurung dalam ketakutan akibat rasa kehilangan. Saat itu jika
hari sabtu tiba, Rena memilih menyibukkan dirinya di tempat lain.
Tapi
dari rentang waktu beberapa bulan dimana ia tidak pergi ke bukit belakang rumah
pada hari sabtu tersebut, ia malah malah merasakan ketersiksaa batin. Seperti
ada sesuatu yang hilang, tak lengkap. Perlahan Rena menyadari, bahwa ia rindu
datang ke bukit. Saat itu Rena tau bahwa ia tidak perlu (selalu) menghindar
dari kesedihan yang disebabkan kenangan indah yang hanya tinggal kenangan. Datang
dan pergi merupakan sebuah proses atau kenyataan yang harus diterima.
Menyangkal kenyataan dari apa yang sudah ditetapkan oleh yang Maha memiliki,
merupakan hal yang membuatnya menjadi lelah dengan diri sendiri.
Akhirnya
Renapun kembali sering mengunjungi bukit itu di hari sabtu. Ia belajar untuk
kembali menikmati suasana dan pemandangan yang ada disana, selayaknya dahulu
ketika bersama sahabatnya –meski tak lagi sama. Dari upaya memaksakan diri agar
terbiasa (lagi) tersebut, ternyata Rena berhasil. Ia menjadi sangat terbiasa pergi ke
bukit belakang rumahnya pada hari sabtu. Rutinitas itu perlahan ibarat Ritual
untuk merefleksikan kesadaran diri dan introspeksi.
Aktivitas
yang kerap ia lakukan disana berupa menggambar, menulis catatan-cacatan
sederhana, ataupun juga menikmati buku bacaan kesukaannya sambil mendengarkan
alunan musik. Jika disuruh memilih satu yang paling disuka diantara semua
kegiatan tersebut, Rena pasti menjawab bahwa menggambar merupakan hal yang
paling ia senangi. Terkadang ia menggambar sambil mendengarkan musik berupa
instrumen yang mengalun dari ipod
nya. Tapi jika sedang bosan, ia juga menggambar sambil mendengarkan musik alam
saja. Menikmati apa adanya.
**
Aktivitasnya
di bukit pada hari ini, ia rasa sudah cukup. untung ngga hujan, jadi ngga ribet basah-basahan deh. Rena membatin
sendiri dalam perjalanan pulang menuju rumah. Ia tersenyum senang.
Rena
melangkahkan kaki dengan langkah-langkah yang cepat dan cukup lebar. Ia begitu
bersemangat ingin segera tiba dirumah. Agar tidak ribet ketika ingin memperlihatkan hasil karyanya, yang saat itu
berupa gambar kepada ibunya, maka Rena tidak memasukkan file-file kertas hasil
gambarnya kedalam tas ransel. Ia lebih memilih menjinjing tumpukan hasil karyanya
dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya penuh, karena harus memegangi payung
bertongkat panjang dan jas hujan.
Di
persimpangan jalan, tiba-tiba angin berhembus cukup kencang, dan beberapa file-file
kertas hasil gambar Rena tiba-tiba melayang terbawa angin.
“ah,
gambar-gambarku”
Satu
persatu dia memunguti gambarnya yang berserakan di jalanan.
“Nih
punya kamu kan?” tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari arah samping Rena.
Ia memegang selembar kertas berisi karya gambar Rena. Raut wajahnya nampak serius
ketika memperhatikan detil gambar tersebut.
“Oh
ia sepertinya..” Rena Nampak kikuk, karena kaget dengan kehadiran suara dan
sosok pria tersebut.
“Kenapa
kamu suka menggambar?” tanya Pria tersebut tanpa basa-basi, membuat Rena
semakin kikuk, kaget, dan ditambah heran.
Ini orang apaan sih tiba-tiba nanya kayak
gitu? Rena berkata dalam
hati. Ia memperhatikan sosok pria tersebut. Berpakaian rapi dengan kemeja
panjang yang digulung sampai lengan,
celana berwarna cokelat tua, dan beberapa buku di tangan kirinya.
Pria
tersebut melambai-lambaikan tangan tepat di depan wajah rena, seakan
menyadarkan dia untuk segera menjawab pertanyaan yang tadi diajukannya.
“oh itu, Karena aku senang melihat” jawab Rena
singkat, berharap dengan jawaban singkat itu, pria misterius yang nampak seusia
dengannya tersebut dapat segera mengembalikan kertas berisi gambar karyanya
tersebut, dan berhenti bertanya menyangkut hal yang menurutnya tidak penting
ditanyakan oleh orang yang baru bertemu seperti saat itu.
“Kenapa
senang melihat?” tanya si pria itu lagi dengan penasaran.
Rena
menatap mata pria tersebut tersebut dengan penasaran. Ia ingin tau sebenarnya
apa maksud dibalik pria tersebut ingin banyak mengetahui itu darinya. Otak Rena
sudah mempersiapkan respon untu pertanyaan tersebut, responnya yaitu berupa “Rena
tidak ingin dan tidak akan menjawab”. Tapi entah kenapa, Rena malah berbicara
panjang lebar. Jauh lebih panjang daripada apa yang ia bayangkan sebelumnya.
Dengan
nada yang agak meninggi dan tempo yang lumayan cepat, mulutnya mengeluarkan
deretan kata-kata yang panjang. “Karena buat aku, melihat itu adalah suatu hal
yang istimewa. Kenapa? Karena buat melihat sebenarnya memilih. Kita ngga bisa melihat
semua apa yang mungkin dapat kita lihat. Biasanya kita melihat dunia kita
menurut dugaan dari apa yang diharapkan atau apa yang kita percaya ada disana.
Dugaan itu membuat hidup kita menjadi lebih mudah dan lebih aman. Kita tidak
perlu memperhatikan secara sungguh-sungguh setiap rangsangan visual yang muncul
seolah-olah kita baru melihatnya pertama kali, tetapi kita dapat memilih
informasi yang berkenaan dengan kebutuhan kita pada saat itu. oleh karena itulah, melihat sebenarnya
memilih. Dan menggambar, sesungguhnya merupakan upaya kita me-representasikan
apa kita lihat. Baik yang kita lihat secara nyata dalam realitas hidup yang
nampak konkret, atupun melihat sesuatu yang masih seakan angan-angan bahkan
mungkin saja sebenarnya tidak ada. Puas? Sudah cukup penjelasannya?” karena
pejelasan panjang lebar tersebut, kini Rena harus mengatur nafasnya.
Pria
tersebut nampak heran, namun juga kagum atas penjelasan panjang lebar Rena yang
juga tidak ia sangka-sangka akan sepanjang itu.
“Aku
punya seorang adik perempuan yang kebetulan tidak dapat melihat dunia dengan
cara seperti kita. Ia tidak dapat melihat dunia secara nyata dalam
bentuk-bentuk, kontur atau gradasi. Baginya, pengetahuan dan pengalaman tentang
dunia hanya ia dapatkan dari telinga dan sentuhan..”
Rena
terdiam, bersabar menunggu ucapan si pria itu selanjutnya.
“Maukah
kamu mengajari adikku untuk pandai menggambar dunia meski ia tidak mempunyai
kemampuan melihat dunia secara visual seperti kita?”
“oh
itu. maksud kamu apa? Aku bener-bener ngga ngerti.” Rena benar-benar heran dengan
situasi ini, dengan jalan pikiran si pria misterius ini, ia menjadi menyesal
telah mengeluarkan kata-kata yang panjang lebar seperti tadi.
“Aku
aku bukan orang jahat yang bermaksud menipu atau apa. aku adalah orang yang
ingin kamu jadi pendampingku, aku ingin kamu tak hanya menggambar dunia untuk
kamu nikmati sendiri, melainkan untuk juga dapat dinikmati secara mendalam oleh
orang lain. Olehku dan juga adikku. Maukah?”
Rena
mematung mendengar ucapan si pria misterius barusan. Ia tidak tau harus merespon
apa. Baginya ini sebuah kejadian yang diluar nalar. Sorot mata dan raut wajah Mena
memancarkan tanya yang sangat besar pada pria misterius tersebut. Bagi Rena, butuh
waktu untuk mengumpulkan kekuatan agar dapat mengeluarkan kata berupa suara.
“Aku
tau dalam pikiramu saat ini, tergantung sebuah tanda tanya besar dengan kata
tanya berupa kenapa. Kenapa aku seberani ini kan?”
Rena
mengangguk dengan kikuk.
“Karena
aku jatuh cinta pada gambarmu, saat pandangan pertama, kedua, dan sepertinya
seterusnya sampai mati”
Angin
kencang kembali berhembus begitu dingin. Rena masih membisu
dan
mematung.
“Maukah?” tanya si pria misterius itu dengan penuh harap.
“Maukah?” tanya si pria misterius itu dengan penuh harap.
*****
Bertemunya
dua mata tersebut ternyata menyatukan dua hati diantara mereka, dan merekapun
bersama – menggambar dunia tak hanya untuk mereka.
No comments:
Post a Comment