Mata Kuliah : Jurnalisme Radio
Semester : 6
Dosen :
Bu Santi Indra Astuti
Sekelumit
Tentang
Jurnalisme
Radio
BAB
1.
TENTANG
RADIO
Bab.
1 ini, menguraikan Sejarah
Radio, Format radio,
dan Revolusi radio.
Sejarah Radio
Dari
sisi sejarah, Radio memiliki sejarah yang cukup panjang semenjak dahulu hingga
menjadi seperti sekarang ini. Secara singkat, Radio adalah buah dari
perkembangan teknologi yang memungkinkan suara di transmisikan secara serempak
melalui gelombang radio di udara. Tahun 1896, Guglielmo Marconi menciptakan wireless telegraph yang menggunakan
radio untuk membawa pesan dalam bentuk morse, lalu ia mendirikan perusahaan
pengiriman pesan mengenai kedatangan dan keberangkatan kapal, mendirikan
stasiun pemancar dan penerima, terutama di kawasan yang tidak terjangkau kabel
telegraf dan belakangan bahkan mendirikan pabrik perakit dan penyedia
perlengkapan radio.
Potensi radio menjadi media
jurnalistik yang mengabarkan peristiwa-peristiwa penting, mulai muncul pada
tragedi tenggelamnya kapal Titanic pada tahun 1912. Ketika Kapal Titanic
tersebut menabrak gunung es, radio mengirim pesan SOS dalam bentuk kode ke
seluruh stasiun yang bisa menerimanya. Berkat hal tersebut, banyak nyawa yang
terselamatkan, lebih dari itu, para Jurnalispun mendapatkan berita pertama
tentang kejadian tersebut.
Format Radio
Pada
awalnya radio memang digunakan untuk menyiarkan apa saja yang ingin disampaikan
kepada massa dalam waktu serempak dan sesingkat-singkatnya. Namun seiring
berjalannya waktu, dan seiring semakin banyaknya radio yang beroperasi,
munculah format radio yang berbeda-beda.
Dalam
arti sempit, format di dalam radio berarti susunan item program dalam satuan
waktu. Salah satu format dalam radio yaitu adalah format clock. Format clock
ini membedakan acara radio berdasarkan aktivitas pagi, siang, sore hingga
malam. Susunan isinya disesuaikan dengan prediksi mengenai Lifestlye pendengar pada jam-jam tersebut. Pada pagi hari, disaat
aktivitas memulai hari seperti berangkat ke kantor, sekolah, bekerja, atau
melakukan aktifitas lainnya, maka program radio biasanya dipadati oleh laporan
mengenai traffic report atau laporan
lalulintas ketimbang diisi dengan musik. Sementara menjelang senja, program di
dominasi oleh musik yang easy listening.
Lalu malam hari semakin menyempit untuk pendengar dewasa.
Sementara
dalam artian yang luas, format bisa diartikan sebagai susunan program radio
secara keseluruhan, semacam menjadi penanda identitas yang terkemas dalam
pelbagai program radio. Pada awalnya kemunculannya, tepatnya pada awal 1920 an,
radio tidak mempunyai target pendengar tertentu, maka isi siarannyapun tidak
tersegmentasi, atau easy mass programming
(Vivian, 2006 : 159).
Barulah
menjelang dekade tahun 1930-an, radio memiliki acara yang khusus dan baru,
yaitu acara Talk Show Radio. Ketia
acara talk show radio muncul, maka
musik tidak lagi mendominasi, yang artinya tidak lagi menjadi atraksi utama.
Pada era talkshow radio, radio berhasil meraih massa atau pendengar dalam
jumlah yang signifikan, di iringi dengan kreatifitas orang-orang radio yang
mengalir tanpa henti.
Pada
dekade tahun 1950-an ketika Tv mulai meraih popularitas, format radio yang mass programmingpun perlahan-lahan
ditinggalkan. Dan mulai munculah format siaran radio yang tersegmentasi, yaitu
format penyiaran radio dengan format yang khusus atau spesifik untuk melayani
khalayak yang juga lebih spesifik.
Program
radio dengan format spesifik atau tersegmentasi di awali dari eksperimen
penyiar Alan Freed di Clevelan dengan all
rock n’ rollnya. Tanpa disangka, ternyata format tersebut mendapat respon
yang baik dari khalayak, dan program hasil eksperimen Freen tersebut disiarkan
di berbagai radio. Kemudian dari situlah, mulai banyak orang atau stasiun radio
yang juga membuat program radio dengan format spesifik.
Format
radio yang menjadi semakin beragam, disebabkan karena target pendengarnya juga
semakin banyak. Music radio, oldtime radio, all-news, sport radio, talk radio,
religious radio, dan radio ramalan cuaca, merupakan contoh-contoh jenis format
berdasarkan pilihan content tertentu.
Yang
saat ini paling lazim ditemukan adalah format yang disusun berdasarkan genre
musik tertentu. Misalnya Top 40, country, jazz, rock, new age, adult
contemporary, oldies, adult standards, Hispanik, dangdut, campur sari, dan lain-lain.
Selain
itu ada pula radio yang di format berdasarkan hobi, misalnya radio otomotif,
radio untuk pecinta fauna, radio untuk yang hobi memancing, hobi fotografi, dan
masih banyak lagi segmentasi hobi yang lainnya. Ada pula yang berdasarkan
Gender (radio Female dan Mustika untuk perempuan), Isu (Radio Metro untuk
berbagi informasi mengenai lalulintas dan hokum, radio komunitas untuk
aktivisme sosial), Profesi, kelas usia, dan lain-lainnya.
Revolusi Radio
Perkembangan
industri atau pasar radio tak lepas dari perubahan teknologi. Teknologi pernah
mengalami perkembangan pesat dan memunculkan gelombang revolusi tersendiri.
Dari
perspektif determinis teknologi, perkembangan teknologi bukanlah merupakan
suatu hal yang sederhana. Perkembangan teknologi merevolusi media, membentuk
individu yang menggunakannya (user)
bahkan membentuk masyarakat dan budayanya.
Pada awalnya,
radio dimaksudkan sebagai alat telekomunikasi yang menjalankan fungsi sosial
melayani masyarakat. Namun setelah didapati bahwa iklan dapat menjadi salah
satu pendapatan radio yang sangat signifikan (bahkan utama), maka berkembanglah
industri radio. Maka iklan sebenarnya adalah buah dari inovasi tidak sengaja
yang memunculkan peluang mengeksploitasi ekonomi radio.
Perhitungan
harga pemasangan iklan dalam setiap media massa berbeda-beda, tegantung
medinya. Bila iklan di media cetak biasanya tergantung dari space atau ruang
yang dihabiskan untuk iklan tersebut. Semakin luas space yang digunakan, maka
semakin mahal pula bayaran untuk pemasanngan iklan tersebut. Maka iklan di
media elektronik biasanya didasarkan pada durasi, atau lamanya waktu iklan
tersebut ditayangkan. Dalam dunia radio, istilah lain dalam penghitungan nilai
iklan, didasarkan pada air time atau
waktu siaran di udara.
Sistem
radio pada awalnya sangat terintegrasi, dimiliki oleh perusahaan-perusahaan
besar. Sedangkan ketika radio mulai masuk kedalam ranah bisnis, dan
teknologinya juga semakin memungkinkan untuk dioperasikan secara sederhana,
maka radiopun menjadi terdesentralisasi. Kepemilikannya dapat jatuh ke
tangan-tangan yang mengusahakannya. Kini tampak kecenderungan pasar radio
berkembang kembali ke bentuk-bentuk jejaring dan sindikasi.
Revolusi
Radio yang paling nyata adalah perubahan gelombang siaran dari AM (Amplitudo
modulation) menjadi FM (frequency modulation). Gelombang FM dinilai lebih halus
dan jernih sehingga popularitas AM tergeser. Namun AM pun kembali muncul,
karena terbukti gelombang tersebut mempunyai daya jangkau (coverage) yang lebih
luas.
Kemudian
revolusi besar yang dialami oleh radio kembali terjadi manakala muncul atau
ditemukan Digital Audio Broadcasting (DAB)
atau sistem penyiaran berbasis digital, sehingga keterbatasan daya pancar
gelombang FM yang awalnya hanya dapat bermain di areal lokalpuun teratasi.
Radio
kini bukan lagi broadcasting yang membidik target segmen yang broad atau luas. Kini radio telah
berubah dengan segmen yang menyempit dan terfokus. Maka sebenarnya radio bukan
lagi sebagai broadcasting, melainkan narrowcasting.
BAB
2.
TEORI
DAN MODEL
(Materi Minggu ke 4 Pertemuan Jur. Radio)
Rabu, 6 Maret 2013

Sejauh
yang dapat ditelusuri, teori-teori khusus mengenai radio sangatlah sedikit
bahkan dapat dikatakan tidak ada. Namun meski demikian, untuk menjelaskan
fenomena radio sebagai media komunikasi massa, para cendekiawan atau para
ilmuwan lebih banyak mengacu pada
teori-teori komunikasi massa, bahkan teori-teori sosial. Dengan cara itu, semua
fenomena komunikasi terkait dengan radio dapat dianalisis dan dijelaskan
merujuk pada teori-teori tersebut.
A. TEORI SEPUTAR DAMPAK
Teori-teori
semacam ini mencoba mengaitkan proses atau alur komunikasi dengan efek atau
dampaknya kepada khalayak.
1. Teori
Peluru Ajaib(The Magic Bullet Theory).
Teori
ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang tidak terbatas untuk
menembus benak seseorang dengan sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan
efek-efek instan.
2. Teori
Efek Terbatas (limited Effect)
Teori
ini diangkat oleh Hadley Cantril bersama timnya secara massif sekitara tahun
1940. Hasil Penelitian Cantril mengawali penelitian yang terfokus pada limited effect atau efek terbatas, yang
bersandar pada asumsi :
·
Peran
media massa ditengah masyarakat pada dasarnya terbatas.
·
Media
terutama Peran media massa dalam kehidupan individu bersifat limited atau
terbatas, dll
·
Media
sebenarnya hanya pelengkap kehidupan manusia, dan tidak menggantikan kehidupan
manusia seutuhnya. Manusia masih memiliki kendali mengatur kehidupan
Teori
Efek terbatas ini terdiri dari :
- Teori Lingkar Kebisuan (Spiral of Silent)
Teori
ini mengasumsikan bahwa orang-orang yang mempunyai pendapat/pandangan berbeda
dengan pendapat dominan di media, cenderung akan berdiam diri karena takut
ditolak atau tidak diterima lingkungannya, serta takut terpisah atau
dikucilkan.
Untuk
pihak yang berada di luar lingkaran media, yaitu khalayak pada umumnya yang
memiliki pendapat atau pandangan berbeda tersebut, diistilahkan sebagai
‘mayoritas bisu’. Selain itu, teori ini juga membahas bahwa dalam diri khalayak
ada persepsi selektif (selective exposure), yaitu bahwa orang mempersepsi pesan
media sesuai dengan sikap dan keyakinan yang sudah ada sebelumnya, dan menolak
yang dianggap tidak sesuai.
Teori
ini biasanya dapat dilihat di runag-ruang pemberitaan. Dalam teori linkar
kebisuan ini, hanya ada dua pilihan yaitu : menyingkir atau diam.
- Teori Kultivasi.
Teori
ini mengasumsikan ada dua macam realitas. Realitas yang pertama adalah realitas
faktual atau kejadian sesungguhnya, sementara realitas yang kedua adalah
realitas simbolilk, yaitu gambaran realitas yang ditampilkan media melalui
program-programnya.
Penonton
atau khalayak media menjadi sasaran kultivasi atau penaman realitas simbolik
yang disampaikan oleh media. Ketika mengonsumsi media yang sarat dengan
kekerasan dalam intensitas yang tinggi, yaitu menghabiskan waktu sekitar 4 jam
dan tergolong kedalam heavy viewer
ayau penonton berat, maka dipercaya akan timbul sejumlah efek yang disebut
dengan mean world syndrome (sindrom
dunia nan kejam), yaitu :
- Meningkatkan
peluang terlibat dalam kekerasan
- Takut
berjalan sendirian dimalam hari
- Salah
satu persepsi mengenai aktivitas penegakan hokum
- Secara
umum, tidak mudah percaya kepada orang lain
Teori
Gerbner mengenai kultivasi inipun dapat di adaptasi untuk menjelaskan pengaruh
media komunikasi lain termasuk radio, yaitu ketika program populernya
dikonsumsi khalayak secara terus menerus.
Teori
kultivasi ini tergolong kedalam teori efek terbatas, karena tidak semua
khalayak mengalami hipereralitas dan mean world syndrome tersebut. Yang diasumsikan akan mengalami efek tersebut
hanyalah orang-orang heavy viewer saja. Sementara orang yang tidak, tidak akan
mengalami efek tersebut.
TEORI TENTANG PERAN
Teori
seputar peran mencoba memperlihatkan tentang bagaimana peran media di tengah
khalayak, baik dalam lingkup makroskopis maupun dalam lingkup mikroskopis.
1. Difusi Inovasi (diffusion of Innovasion)
Kata
difusi meminjam konsep dari ilmu alam, yang dirumuskan Rofger dan Shoemaker
(1971) sebagai proses dimana suatu penemuan disebarkan kepada masyarakat yang
menjadi sistem sosial. Difusi tersebut mengacu pada penyebaran informasi baru,
inovasi, atau proses baru ke seluruh masyarakat. Lalu yang disebut dengan
inovasi adalah hal terkait dengan teknologi dan penemuan baru yang menunjang
pembangunan.
Teori
Divusi Inovasi ini mengandaikan bahwa inovasi akan berpindah dari satu titik ke
ktitik yang lain, dimulai dari early
adopters ke adopter lanjutan.
Teori ini merupakan pengembangan dari teori dua tahap (two step flow of
communication).
Terdapat
serangkaian proses yang harus dilewati agar inovasi tersebut dapat tersebar
secara luas dan menjadi bagian dari masyarakat. Proses tersebut dimulai dari
akuisisi informasi, evaluasi informasi, hingga akhirnya mencapai tahap terakhir
yaitu adopsi atau penolakan (Nuruddin, 2007 : 190).
Teori
divusi informasi ini merupakan teori dengan lingkup makro atau pada lingkup
sosial maysarakat yang luas. Contoh penerapan dari teori Divusi Informasi ini
adalah :
-
Sosialisasi
program-program pemerintah melalui tokoh-tokoh tertentu baik secrala langsung
maupun tidak langsung.
-
Penyampaian
pesan kepada masyarakat dengan menggunacakan cara tersebut dianggap akan lebih
efektif.
2. Cognitive Science (Pengetahuan
Kognitif)
Berbeda
dengan teori divusi inovasi, teori Cognitive Science ini merupakan teori dengan
lingkup yang sempit, yaitu lingkup individu. Teori ini populer sekitar tahun
1960-an dan menjadi basis dari penjelasan mengenai bagaimana media massa
bekerja dalam taraf kognisi hingga memunculkan efek-efek tertentu pada tataran
behavioral yang berupa perilaku atau tingkah laku.
Maka
teori ini berjalan berdasarkan pada konsep manusia sebagai homo ludens atau manusia yang aktif mengorganisasikan dan mengolah
stimuli yang diterimanya.
Menurut
Albert Bandura, seorang tokoh psikologi Behaviorisme, televisi atau media massa
lainnya termasuk radio menampilkan model-model yang menjadi acuan perilaku.
Dengan mengamati model-model tersebut, khalayak belajar mengenai mana perilaku
atau norma yang pantas, mana yang tidak. Mekanismenya yaitu melalui reward
(ganjaran) and punishment (hukuman). Perilaku yang pantas akan mendapatkan
ganjaran, sebaliknya, perilaku yang tidak pantas akan mendapatkan hukuman atau
sanksi. Dan upaya mengikuti apa yang dilihat, didengar, serta dipelajari dari
model yang ditampilkan tersebut, dinamakan dengan Imitasi atau peniruan.
3. Agenda Setting
Teori
ini mengasumsikan bahwa agenda media akan mempengaruhi agenda publik. Isu-isu
yang banyak diwacanakan di media-media, akan menjadi konsumsi publik, dan
akhirnya memicu diskusi diantara mereka.
Dalam
konteks lain, agenda media menjadi acuan publik untuk mengagendakan diri,
termasuk menjadwalkan waktu. Perumus teori Agenda Setting ini adalah Mc Combs
dan Shaw. Intinya, teori Agenda setting ini mencirikan relasi antara media dengan
audience, dengan focus pada sisi media.
4. Uses and Gratification Theory
Teori
teori Uses and Gratification ini titik fokusnya terletak pada sisi audience.
Menurut teori ini justru bukanlah media yang di agendakan oleh khalayak,
melainkan khalayak yang diagendakan oleh khalayak. Justru khalayaklah yang yang
mempengaruhi tentang seperti apa isi media.
Katz
(1974) merangkum logika teori ini dalam komponen-komponen sebagai berikut :
- Faktor
sosial psikologi yang menjadi sumber
- Kebutuhan
atau need, yang memunculkan
- Ekspektasi
atau pengharapan terhadap
- Media
massa atau sumber-sumber lain, hingga mengarah pada
- Pola
terpaan media yang berbeda-beda, hingga menghasilkan
- Pemenuhan
(gratifikasi) kebutuhan dan
- Konsekuensi-konsekuensi
lain, termasuk konsekuensi yang tidak diduga, atau tidak dikehendaki (Mc.
Quail & Windahl, 1981 : 77)
5. Teori Normatif media.
Teori
ini mengandaikan fungsi-fungsi dan peran-peran ideal media massa, maka teori
ini mengasumsikan apa dan bagaimana seharusnya media massa berfungsi dan berperan
ditengah-tengah masyarakat.
Dalam
teori ini menyebutkan tentang pentingnya public
sphere. Public Sphere merupakan
sebuah situasi yang memungkinkan public mendiskusikan berbagai hal secara
terbuka. Public Sphere atau yang
dalam bahasa indonesianya disebut ruang publik, berlangsung ketika warga Negara
melaksanakan hal berkumpul dan berserikat, guna mendiskusikan isu hari itu,
terutama yang berkenaan dengan masalah-masalah politik. (Mc. Quail)
Karena
negara modern menghimpun banyak penduduk, maka ruang public tersebut
diwujudkkan dalam bentuk media. Maka media harus menjalankan fungsinya menjadi public sphere atau ruang public yang
memberikan manfaat kepada publik.
Teori
Normatif yang lain berbicara mengenai tanggung jawab sosial (Social Responsibility Theory). Teori ini
mengasumsikan bahwa media massa memiliki tanggung jawab sosial untuk melayani
masyarakat. Dengan kekuatan luar biasa yang dimiliki media massa, justru media
massa juga dituntun untuk juga memberikan kontribusi yang besar.
Teori
normative ini biasanya yang menjadi dasar dari aturan atau undang-undang
penyiaran.
6. Teori Dependensi Media (Media System
dependensi theory).
Teori
dependesi Media karya Ball-Rockeach dan De Fleur (1967) ini merupakan teori
yang berupaya menggabungkan semuanya. Dalam teorinya, memperlihatkan bagaimana
kondisi structural masyarakat, akan dapat menentukan potensi efek media dalam
diri khalayak. Tepatnya, ada keterkaitan antara ketiganya –media, sistem
sosial, dan khalayak. Ketiga hal tersebut sama-sama menimbulkan efek pada
khalayak dalam tataran kognitif, afektif, dan behavioral.
Teori Kritis
-
Priming
Theory
-
Mainstreaming
Theory
-
Fear
Effect
-
Desensitization
/ menurut Djalaluddin Rachmat (Agresi sebagai efek Komunikasi Massa)
-
Chatarsis
Theory
Teori
wacana kritis dan teori-teori pembingkaian (framing) memperlihatkan bagaimana
kekuatan-kekuatan tertentu mengerangka dan membingkai teks-teks media. Teks media bermacam-macam, bisa berupa
berita, artikel, program radio, atau bahkan drama televisi.
Sosiologi
media, adalah kumpulan teori yang
memperlihatkan bagaimana media dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar
dirinya sendiri. Faktor-faktor tersebut dirangkum oleh Reese dan Shoemaker,
yaitu :
1.
Individual,
berupa keyakinan, latar belakang pendidikan atau profesi yang dimiliki oleh
para pekerja media
2.
Media
Routine berupa tata kerja media selaku produser teks
3.
Organisasional,
berupa visi-misi atau tujuan yang dimiliki media.
4.
Extramedia,
seperti persaingan antar media. Konstruksi siste pasar media.
5.
Ideologi
yang mempengaruhi sistem tempat media beroperasi.
Framing
adalah pendekatan yang digunaan untuk memahami ‘logika’ pengemasan tersebut
dalam versi media itu sendiri. Framing adalah cara media mengonstruksikan
realitas yang ditentukan oleh berbagai hal, mulai dari perspektif pembuat
berita, kognisi sosial produser teks, sampai pada kategorisasi ‘kita’ dan
significant Others. Model Framing inipun dapat juga digunakan untuk
menganalisis radio.
Teori Ekonomi Politik
Ekonomi
politik adalah pendekatan teoritik yang mencoba memperlihatkan bagaimana
sistem-sistem di sekitar kita dipengarui oleh kontrol elit-elit tertentu atas
fungsi-fungsi ekonomi. (Murdock, 1989 dalam Baran & Davis, 2006:241).
Ini
adalah pendekatan yang berakar dari Marxisme, yaitu bagaimana base mempengaruhi superstructure. Dan Radio juga termasuk kedalam bagian superstructure tersebut. Contoh, betapa
faktor ekonomi begitu mempengaruhi atau
menentukan politik dan strategi pengemasan serta penempatan radio, ditunjukan
oleh yang namanya rating.
Teori determinisme Teknologi.
Pendukung
teori ini beranggapan bahwa teknologi lah yang segalanya.Teknologi yang tadinya
hanya difungsikan sebagai alat bantu, akhirnya membentuk user atau pengguna,
dan pada gilirannya ‘membentuk’ masyarakat baru mengidnuksi perubahan budaya,
serta memengaruhi sistem politik, sosial, dan ekonomi.
Teori Tentang Proses dan Produk
Fokus
dari ragam teori ini terletak pada faktor-faktor media yang berkenaan dengan
proses produksi produk-produk media.
MODEL DAN KLASIFIKASI
Selain
dapat digunakan dalam menjelaskan proses, model juga dapat digunakan untuk
menyusun klasifikasi. Berikut ini merupakan penjabaran model-model media
komunikasi massa menurut Vivian :
1. Hot-Cool Media Model
Model
ini diusulkan oleh Marshall Mc.Luhan (1911-1980). Ia membedakan hot and cool
berdasarkan setidaknya oleh dua hal yaitu : (1) definisi yang akhirnya (2)
menentukan tingkat keterlibatan khalayak dalam mengonsumsi media massa
tersebut.
2. Entertainment-Informational
Model
Model
ini membagi media berdasarkan pada penekanan isinya, yaitu informasi ataukah
hiburan (entertainment). Surat kabar selalu digolongkan sebagai media
informasi, sebab isinya lebih banyak memuat informasi dibandingkan hiburannya,
tercermin dari banyaknya berita, tajuk rencna, atau editorial, lembar opini atau
artikel, karikatur, sampai selingan berupa teka-teki silang. Sementara itu,
kaset rekaman dan film dikategorikan sebagai media hiburan karena isinya memang
dimaksudkan untuk lebih banyak menghibur. Dan Radio dilategorikan sebagai media
hiburan, karena sifat dasar radio yang atraktif dan auditif.
Teori
ini memiliki kelemahan, yaitu seiring perkembangan zaman, media semakin
mengembangkan diri dengan berbagai program, Hal tersebut menjadikan bias dalam
pengkategorian secara baku.
3. Content Distribution Model
Pendekatan
Content distribution Model ini tertarik pada amatan seputar industri media.
Dengan begitu kita akan dapat
menganalisis keberadaan perusahaan media tersebut, sekaligus memahami isu-isu
penting yag melingkupi dirinya sebagai sebuah perusahaan media.
Penekanan
jenis-jenis perusahaan media, tersebut Didasarkan pada :
- Siapa
yang memproduksi (content unit)
- Siapa
yang mendistribusikan (distribution unit)
Beberapa
perusahaan media lebih berkonsentrasi pada produksi isi, mereka kita kenal
sebagai production house, semisal
Multivision, Sinemart, dll. Atau perusahaan-perusahaan penerbitan buku,
majalah, dan sebagainya. Perusahaan media lainnya berbisnis dengan
mengekpoitasi ruang-ruang distribusi media, seperti toko-toko buku, bioskop, dan jaringan sistem
kabel. Di Indonesia contohnya adalah Gramedia, Gunung Agung, Togamas, atau
jaringan bisokap Blitz Megaplex, 21, dan televisi kabel.
Beberapa
perusahaan kadang-kadang didirikan untuk menyuplai (isi) sekaligus
mendistribusikannya. Semuanya ingin dimonopoli, jika sudah begitu, akan menjadi
sulit mengaplikasikan distribution model ini secara rigit.
Matural Model
Matural
Model ini meperbincangkan tahapan-tahapan media massa., sehingga bermanfaat
menjelaskan sejarah dan cara permunculan media komunikasi massa. Matural Model
membagi tahapan perkembangan media :
1. Tahapan Inovasi
Ini
merupakan tahapan dimana media tersebut baru ditemukan teknologinya. Belum
terbayangkan, bahkan oleh penciptanya tentang sejauh mana dan kearah mana media
tersebut terus berkembang. Pada radio, tahapan inovasinya berkembang pada
sekitar tahun 1800-an dengan ditemukannya beberapa teknologi yang pada akhirnya
bermuara pada radio.
2. Tahapan Kewirausahaan
Pada
tahapan ini para wirausahawan mulai mengeksplorasi kemunginan-kemungkinan
komersial yang bisa dimunculkan oleh bsinis media. Tentu saja, teknologi masih
terus bermunculan, tetapi kini lebih terfokus. Menurut Vivian, tahapan ini juga
tidak hanya diwarnai oleh eksperimen produk, pasar, dan user dari media,
melainkan tahapan ini juga diwarnai dengan perebutan hak paten dan kasus-kasus
hokum terkait hal tersebut.
3. Tahapan Stabilitas
Tahapan
stabilitas ini tercapai manakala media komunikasi massa tertenu sudah luas
dalam hal pemasarannya. Ini tentunya tidak terlepas dari hal pemanfaatannya
yang meluas juga.
Mature
atau berarti dewasa, artinya media telah melewati ketiga tahapan tersebut,
mulai dari inovasi, kewirausahaan, dan stabilitas. Buku disebut-sebut sebagai
media yang sudah mature atau sudah dewasa. Selain media kuno yang masih eksis
hingga kini, industri buku juga sudah cukup mapan, tidak seperti internet yang
masih jatuh bangun, dan banyak berada di tahapan eksperimental.
Elitist Politist Model
Model
ini mengkategorikan media massa adalah dengan cara menilai kontribusinya bagi
masyarakat, dengan demikian kita dihadapkan pada media elit dan media populis.
Yang
disebut sebagai Elitist media atau media elit adalah jenis-jenis media yang
berfungsi meningkatkan masyarakat (dalam hal apapun), serta memiliki kontribusi
pada pencerdasan budaya. Contohnya : majalah-majalah serius, program televisi
yang terfokus pada tema sejarah, rekaman-rekaman musik klasik atau contemporary
jazz. Sedangkan populis media adalah jenis-jenis media yang produknya untuk
memenuhi kebutuhan dasar yang dikehendaki pasar, seperti tabloid-tabloid
sensasional, program reality show, lain sebagainya. Dan Radio bisa tergolong
kedalam dua golongan tersebut, tergantung pada visi dan misi yang diterjemahkan
kedalam program-programnya.
No comments:
Post a Comment