Saturday 9 March 2013

Cerpen (katanya)


Nama               : Fika Pertiwi
NPM               : 10080010042
Kelas               : A
Mata Kuliah    : Arkurifai Baksin
Genre Tulisan : Cerpen

Bertemunya 2 Mata

Hari ini adalah hari sabtu, kebetulan adalah hari pertama di bulan ini- Maret. Pagi ini, tidak ada rintik hujan, pun tidak ada terik matahari. Yang ada adalah kumpulan awan sendu berwarna pudar, serta hembusan angin yang cukup kencang sehingga mampu membuat pohon-pohon berdiameter tidak terlalu besar menjadi bergoyang seperti akan tumbang.
Seorang wanita paruh baya melihat suasana di luar rumahnya, dari balik kaca jendela. Lalu ia membalikkan badan, dan berjalan ke arah putrinya yang sedang berdandan di depan cermin “kalo bisa jangan kemana-mana Ren, mendung dan banyak angin gitu, nanti kamu sakit”.
“Ngga apa-apa mah, ngga usah khawatir. Apa bedanya sama cuaca cerah yang panas atau cuaca-cuaca lainnya? Kalo emang harus sakit ya sakit aja” jawab Rena sambil tersenyum dan merangkul mamanya. “mama ini kaya ngga tau Rena aja”.
Wanita paruh baya itupun terdiam sejenak. Nampak berpikir sambil menerawang. “justru karena mama tau kamu. ya sering-sering bolos buat pergi kesana di hari sabtu kan ngga akan kenapa-kenapa”
“ngga ah ma, Rena tetep mau pergi. Rena lagi semangat banget nih hari ini!” Rena cengengesan. Matanya berbinar-binar.
 “yaudah deh gimana kamu, tapi hati-hati ya. Jangan lupa jaket tebal, jas hujan, dan payungnya, takut hujan besar. Jangan pulang kesorean!”
“Oke ma! Rena pasti pulang sebelum sore, soalnya harus ngerjain materi buat rapat di kantor lusa.”
Setelah selesai berdandan, Rena segera mengambil tas ransel dan peralatan lainnya yang mungkin nanti akan dia butuhkan. Lalu iapun bergegas pergi.
Karena masih cukup pagi, jalanan didekat rumahnya masih lengang. Terlebih cuaca pagi itu memang tidak cerah, melainkan mendung dan berangin, sehingga membuat kebanyakan orang nampaknya malas untuk melakukan aktivitas di luar  rumah bila memang tidak benar-benar penting, atau bila memang  tidak benar-benar terpaksa.
Namun bagi Rena, cuaca seperti apapun tidaklah masalah. Baginya cuaca cerah yang terik, maupun mendung ber-angin, bahkan cuaca hujan sekalipun tidak akan bisa menghentikannya untuk pergi ke bukit belakang rumahnya tersebut di hari sabtu. Yang bisa menghentikannya, hanyalah jika ia sedang benar-benar memiliki kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan, dan hanya bila dia sedang sakit saja.
Rutinitas berkunjung ke bukit pada setiap hari sabtu tersebut, sudah Rena lakukan semenjak kecil, semenjak ia menemukan bukit tersebut bersama sahabatnya bernama Risa, tepat di hari sabtu. Ketika itu mereka masih bocah kelas 6 SD yang lugu dan senang mencari serta menemukan tempat-tempat baru. Di setiap Sabtu mereka selalu datang ke bukit, dan menghabiskan waktu disana hingga sore. Tapi sayang, Risa meninggal karena sakit saat kelas 2 SMP.
Sebenarnya sesaat sepeninggal Risa, rutinitas Rena berkunjung ke bukit di hari sabtu tersebutpun sempat terhenti selama beberapa bulan. Alasannya karena ia tidak kuasa menahan kesedihan manakala berada di tempat yang penuh dengan kenangan akan kebersamaan bersama Risa. Kala itu, Rena masih belum bisa menerima kenyataan, dan terkurung dalam ketakutan akibat rasa kehilangan. Saat itu jika hari sabtu tiba, Rena memilih menyibukkan dirinya di tempat lain.
Tapi dari rentang waktu beberapa bulan dimana ia tidak pergi ke bukit belakang rumah pada hari sabtu tersebut, ia malah malah merasakan ketersiksaa batin. Seperti ada sesuatu yang hilang, tak lengkap. Perlahan Rena menyadari, bahwa ia rindu datang ke bukit. Saat itu Rena tau bahwa ia tidak perlu (selalu) menghindar dari kesedihan yang disebabkan kenangan indah yang hanya tinggal kenangan. Datang dan pergi merupakan sebuah proses atau kenyataan yang harus diterima. Menyangkal kenyataan dari apa yang sudah ditetapkan oleh yang Maha memiliki, merupakan hal yang membuatnya menjadi lelah dengan diri sendiri.
Akhirnya Renapun kembali sering mengunjungi bukit itu di hari sabtu. Ia belajar untuk kembali menikmati suasana dan pemandangan yang ada disana, selayaknya dahulu ketika bersama sahabatnya –meski tak lagi sama. Dari upaya memaksakan diri agar terbiasa (lagi) tersebut, ternyata Rena  berhasil. Ia menjadi sangat terbiasa pergi ke bukit belakang rumahnya pada hari sabtu. Rutinitas itu perlahan ibarat Ritual untuk merefleksikan kesadaran diri dan introspeksi.
Aktivitas yang kerap ia lakukan disana berupa menggambar, menulis catatan-cacatan sederhana, ataupun juga menikmati buku bacaan kesukaannya sambil mendengarkan alunan musik. Jika disuruh memilih satu yang paling disuka diantara semua kegiatan tersebut, Rena pasti menjawab bahwa menggambar merupakan hal yang paling ia senangi. Terkadang ia menggambar sambil mendengarkan musik berupa instrumen yang mengalun dari ipod nya. Tapi jika sedang bosan, ia juga menggambar sambil mendengarkan musik alam saja. Menikmati apa adanya.

**
Aktivitasnya di bukit pada hari ini, ia rasa sudah cukup. untung ngga hujan, jadi ngga ribet basah-basahan deh. Rena membatin sendiri dalam perjalanan pulang menuju rumah. Ia tersenyum senang.
Rena melangkahkan kaki dengan langkah-langkah yang cepat dan cukup lebar. Ia begitu bersemangat ingin segera tiba dirumah. Agar tidak ribet ketika ingin memperlihatkan hasil karyanya, yang saat itu berupa gambar kepada ibunya, maka Rena tidak memasukkan file-file kertas hasil gambarnya kedalam tas ransel. Ia lebih memilih menjinjing tumpukan hasil karyanya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya penuh, karena harus memegangi payung bertongkat panjang dan jas hujan.
Di persimpangan jalan, tiba-tiba angin berhembus cukup kencang, dan beberapa file-file kertas hasil gambar Rena tiba-tiba melayang terbawa angin.
“ah, gambar-gambarku”
Satu persatu dia memunguti gambarnya yang berserakan di jalanan.
“Nih punya kamu kan?” tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari arah samping Rena. Ia memegang selembar kertas berisi karya gambar Rena. Raut wajahnya nampak serius ketika memperhatikan detil gambar tersebut.
“Oh ia sepertinya..” Rena Nampak kikuk, karena kaget dengan kehadiran suara dan sosok pria tersebut.
“Kenapa kamu suka menggambar?” tanya Pria tersebut tanpa basa-basi, membuat Rena semakin kikuk, kaget, dan ditambah heran.
Ini orang apaan sih tiba-tiba nanya kayak gitu? Rena berkata dalam hati. Ia memperhatikan sosok pria tersebut. Berpakaian rapi dengan kemeja panjang yang digulung sampai  lengan, celana berwarna cokelat tua, dan beberapa buku di tangan kirinya.
Pria tersebut melambai-lambaikan tangan tepat di depan wajah rena, seakan menyadarkan dia untuk segera menjawab pertanyaan yang tadi diajukannya.
 “oh itu, Karena aku senang melihat” jawab Rena singkat, berharap dengan jawaban singkat itu, pria misterius yang nampak seusia dengannya tersebut dapat segera mengembalikan kertas berisi gambar karyanya tersebut, dan berhenti bertanya menyangkut hal yang menurutnya tidak penting ditanyakan oleh orang yang baru bertemu seperti saat itu.
“Kenapa senang melihat?” tanya si pria itu lagi dengan penasaran.
Rena menatap mata pria tersebut tersebut dengan penasaran. Ia ingin tau sebenarnya apa maksud dibalik pria tersebut ingin banyak mengetahui itu darinya. Otak Rena sudah mempersiapkan respon untu pertanyaan tersebut, responnya yaitu berupa “Rena tidak ingin dan tidak akan menjawab”. Tapi entah kenapa, Rena malah berbicara panjang lebar. Jauh lebih panjang daripada apa yang ia bayangkan sebelumnya.
Dengan nada yang agak meninggi dan tempo yang lumayan cepat, mulutnya mengeluarkan deretan kata-kata yang panjang. “Karena buat aku, melihat itu adalah suatu hal yang istimewa. Kenapa? Karena buat melihat sebenarnya memilih. Kita ngga bisa melihat semua apa yang mungkin dapat kita lihat. Biasanya kita melihat dunia kita menurut dugaan dari apa yang diharapkan atau apa yang kita percaya ada disana. Dugaan itu membuat hidup kita menjadi lebih mudah dan lebih aman. Kita tidak perlu memperhatikan secara sungguh-sungguh setiap rangsangan visual yang muncul seolah-olah kita baru melihatnya pertama kali, tetapi kita dapat memilih informasi yang berkenaan dengan kebutuhan kita pada saat itu.  oleh karena itulah, melihat sebenarnya memilih. Dan menggambar, sesungguhnya merupakan upaya kita me-representasikan apa kita lihat. Baik yang kita lihat secara nyata dalam realitas hidup yang nampak konkret, atupun melihat sesuatu yang masih seakan angan-angan bahkan mungkin saja sebenarnya tidak ada. Puas? Sudah cukup penjelasannya?” karena pejelasan panjang lebar tersebut, kini Rena harus mengatur nafasnya.
Pria tersebut nampak heran, namun juga kagum atas penjelasan panjang lebar Rena yang juga tidak ia sangka-sangka akan sepanjang itu.
“Aku punya seorang adik perempuan yang kebetulan tidak dapat melihat dunia dengan cara seperti kita. Ia tidak dapat melihat dunia secara nyata dalam bentuk-bentuk, kontur atau gradasi. Baginya, pengetahuan dan pengalaman tentang dunia hanya ia dapatkan dari telinga dan sentuhan..”
Rena terdiam, bersabar menunggu ucapan si pria itu selanjutnya.
“Maukah kamu mengajari adikku untuk pandai menggambar dunia meski ia tidak mempunyai kemampuan melihat dunia secara visual seperti kita?”
“oh itu. maksud kamu apa? Aku bener-bener ngga ngerti.” Rena benar-benar heran dengan situasi ini, dengan jalan pikiran si pria misterius ini, ia menjadi menyesal telah mengeluarkan kata-kata yang panjang lebar seperti tadi.
“Aku aku bukan orang jahat yang bermaksud menipu atau apa. aku adalah orang yang ingin kamu jadi pendampingku, aku ingin kamu tak hanya menggambar dunia untuk kamu nikmati sendiri, melainkan untuk juga dapat dinikmati secara mendalam oleh orang lain. Olehku dan juga adikku. Maukah?”
Rena mematung mendengar ucapan si pria misterius barusan. Ia tidak tau harus merespon apa. Baginya ini sebuah kejadian yang diluar nalar. Sorot mata dan raut wajah Mena memancarkan tanya yang sangat besar pada pria misterius tersebut. Bagi Rena, butuh waktu untuk mengumpulkan kekuatan agar dapat mengeluarkan kata berupa suara.
“Aku tau dalam pikiramu saat ini, tergantung sebuah tanda tanya besar dengan kata tanya berupa kenapa. Kenapa aku seberani ini kan?”
Rena mengangguk dengan kikuk.
“Karena aku jatuh cinta pada gambarmu, saat pandangan pertama, kedua, dan sepertinya seterusnya sampai mati”
Angin kencang kembali berhembus begitu dingin. Rena masih membisu
dan mematung.
            “Maukah?” tanya si pria misterius itu dengan penuh harap.


*****
Bertemunya dua mata tersebut ternyata menyatukan dua hati diantara mereka, dan merekapun bersama – menggambar dunia tak hanya untuk mereka.

No comments:

Post a Comment