Saturday 9 March 2013

Notulensi "Dibalik Frekuensi"



Pemutaran Film dan Diskusi Film Berjudul “Di Balik Frekuensi
Kamis, 07 Maret 2013
Pukul 14.15- 17.45
Di Ruang Utama Aula UNISBA

Acara pemutaran film berjudul “Di Balik Frekuensi” resmi di buka oleh MC dengan di iringi riuh tepuk tangan dari para peserta. Lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan oleh Parama mengalun lembut memenuhi seantero ruang utama aula UNISBA.
Setelah pembacaan ayat suci Al-Qur’an, barulah acara masuk pada sesi sambutan. Kesempatan pertama diberikan kepada Herdian selaku presiden Sepik Kelub. Dalam sambutannya, Herdian memperkenalkan Sepik Kelub dan mengajak teman-teman mahasiswa untuk mengikuti kegiatan Sepik Kelub yang dilaksanakan setiap hari rabu. Herdian juga mengucapkan terima kasih kepada Sepik Kelub dan seluruh pihak yang telah membantu penyelenggaraan acara Pemutaran Film dan Diskusi Film “Di Balik Frekuensi” tersebut.
            Sambutan yang kedua datang dari wakil Dekan Fikom UNISBA, yaitu Ibu Santi Indra Astusi. Dalam sambutannya, Ibu Santipun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam pelaksanaan Pemutaran Film dan Diskusi Film Di Balik Frekuensi. Beliau juga mengucapkan selamat datang di kampus UNISBA kepada Ucu Agustin beserta Komunitas Gambar Bergerak, dan kepada mahasiswa-mahasiswa, serta kepada peserta   lainnya.
Lebih lanjut, Ibu Santi mengatakan bahwa penyelenggaraan acara semacam ini tentunya sangatlah bermanfaat, khususnya bagi mahasiswa di Fikom UNISBA, karena Fikom UNISBA ini lebih mengarahkan mahasiswa untuk nantinya bekerja di media, untuk memiliki idealisme tersendiri, sehingga bisa menghasilkan insight atau pencerahan, mengingat betapa luar biasanya media. Di akhir sambutannya, Bu Santi menyatakan bahwa isi pesan dari film Dibalik Frekuensi akan menjadi materi uts mata kuliah Media Literasi.
            Dan sambutan terakhir yaitu dari Ucu Agustin, yang merupakan sutradara dari film “Behind the Frequency” atau “Di Balik Frekuensi”. Ucu secara pribadi dan sekaligus mewakili timnya juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat. Ucu berharap, berharap semoga pesan-pesan dalam film yang mereka garap tersebut dapat tersampaikan dengan baik dan dapat memberikan manfaat.  Mba Ucu juga meminta kepada peserta dan penonton filmnya untuk menanggapi isi film berupa pernyataan kesan dan pesan tentang film Di Balik Frekuensi, ke Twitter mereka dengan alamat @dbalikfrekuensi. Sambutan Ucu Agustin sangatlah singkat, karena nampaknnya para peserta begitu bersemangat ingin segera menyaksikan film Di Balik Frekuensi.

Pemutaran Film
Riuh tepuk tangan bergema saat MC memberikan instruksi bahwa film Di Balik Frekuensi akan segera diputar. Tepat pada pukul 2.29 WIB, Film pun mulai ditayangkan. Suasana seketika menjadi hening saat lampu ruangan aula UNISBA di padamkan, dan big screen mulai menampilkan gambar-gambar pengantar dalam film. Antusiasme peserta dan seisi ruangan terlihat dari keseriusan mereka menyimak film.
Film Di Balik Frekuensi di awali dengan pemaparan singkat mengenai manfaat yang telah manusia rasakan dari penggunaan frekuensi. Frekuensi sebagai gelombang telah membantu komunikasi menjadi lebih efektif dan efisien, karena menghubungkan satu sama lain. Namun selayaknya air, tanah dan udara, frekuensi sebagai gelombang juga sebenarnya merupakan salah satu aset milik publik yang harusnya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada khalayak luas yaitu rakyat, namun kesadaraan masyarakat luas mengenai hal tersebut masih sangatlah kurang.
Setelah pemaparan singkat mengenai frekuensi tersebut, barulah penonton diajak untuk mulai memahami isi film secara lebih jauh lagi, yaitu diajak untuk memahami keterkaitan frekuensi dan penggunannya dengan realitas yang ada di lingkungan media kita saat ini.

Seperti yang kita ketahui, keberadaan frekuensi yang berupa gelombang telah memberikan kemajuan yang luar biasa pada bidang telekomunikasi dalam hal pengumpulan, pengolahan, dan penyebaran informasi. Dan salah satu diantara sekian media yang membutuhkan frekuensi dalam sistem opersionalnya yaitu televisi.
Secara garis besar, Film berjudul “Di Balik Frekuensi” ini mengangkat dua kasus berbeda namun memiliki ranah yang sama, yakni mengangkat dua kasus yang menyangkut dua stasiun televisi berita swasta tanah air. Kasus yang pertama di angkat atau disorot yaitu kasus Luviana, wartawan metro Tv yang di nonaktifkan bersama beberapa temannya karena menuntut perbaikan kualitas pegawai, dan ingin mendirikan serikat pegawai Metro Tv.
Sedangkan kasus kedua menyoroti Haris Siswandi, korban Lumpur Lapindo yang melakukan aksi jalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta, untuk menuntut keadilan dan pertanggung jawaban PT. Bakrie yang di penuhi seutuhnya. Kasus Hari Siswandi ini menyeret stasiun televisi berita swasta tanah air lain, yaitu Tv One yang tergabung dalam Grup Bakrie.
Keterkaitan di antara dua kasus tersebut yaitu, saat kedua dua kubu stasiun televisi Indonesia tersebut terlihat untuk saling menjatuhkan satu sama lain melalui pemberitaan-pemberitaan di media mereka masih-masing.
Saat Metro Tv tersandung masalah dengan salah satu wartawannya, bernama Luviana yang di berhentikan dan dilarang masuk ke ruang redaksi dengan alasan yang tidak jelas, informasi tersebut diliput dan ditayangkan secara gencar oleh TvOne. Begitu pun saat Luviana mengadakan aksi mencari keadilan dan menuntut hak-haknya, TvOne meliput dan menyiarkannya.
Dan di sisi yang lain, saat Abu Rizal Bakrie yang merupakan pemilik dari TvOne tersangkut masalah lumpur Lapindo, Metro Tv mengekspos dan selalu memberitakan masalah tersebut secara gencar pula. Setiap aksi yang dilakukan oleh korban Lapindo tidak pernah luput dari pantauan Metro Tv. Metro Tv mengambil angle berita lumpur ini dengan menyebutkan lumpur Lapindo, berbeda dengan tvOne yang mengambil angle beritanya dengan menyebutkan lumpur Sidoarjo.
Selain itu, Film Di Balik Frekuensi ini menunjukkan betapa unsur politik dari media televisi itu, begitu mendominasi dalam hal pemberiataan di media tersebut. Metro Tv gencar memberitakan tentang pencitraan Surya Paloh selaku pemilik Metro Tv dan Pemimpin Umum Partai Nasional Demokrat-nya. Sementara itu, TvOne pun demikian. Mereka gencar menayangkan pemberitaan atau pencitraan positif mengenai Aburizal Bakri, dan partai Golkarnya.
Sosok yang pertama ditampilkan dalam film adalah Luviana, setelah setengah bagian dari cerita Luviana di tampilkan, lalu di tampilkan sosok Hari Siswandi. Sosok mereka berdua di tampilkan saling bergantian, namun didominasi penampilan sosok Luviana.
Karena alurnya yang menampilkan dua kasus secara silih bergantian tersebut, membuat cukup rumit, maka agar menjadi lebih mudah untuk di pahami, pemaparan di bagi berdasarkan masing-masing kasus.
Pemaparan pertama yaitu tentang kasus luviana yang kami rangkum dalam tema Luviana dan Metro Tv, lalu yang kedua terangkum dalam tema Hari Siswandi dan Tv One. Namun diakhir tulisan tematik tersebut, akan paparkan mengenai keterkaitan antara kedua kasus tersebut.
Berikut ini adalah ulasan atau pemaparan lebih mendalam mengenai kasus Luviana dan Metro Tv, serta kasus Hari Siswandi dan Tv One.







Luviana dan Metro Tv.
Sosok yang pertama di sorot dalam film ini adala Luviana, seorang wartawan Metro Tv. Di awal cerita dalam film, Luviana menyatakan bahwa ia mempunyai kebanggaan tersendiri bekerja di stasiun televisi berita swasta pertama di Indonesia tersebut. Luviana yakin bahwa dengan bergabung bersama Metro Tv, dia akan mendapatkan banyak pengalaman berharga dan tidak terlupakan.
Luviana telah bergabung bersama Metro Tv semenjak tahun 2009, dan selama itu pula ia bertugas di bagian News Room atau ruang redaksi pemberitaan. Lalu sebagai seorang jurnalis yang kritis, pada sekitaran tahun 2011 ia bersama teman-temannya pernah melakukan diskusi di news room atau ruang pemberitaan, untuk mempertanyakan perihal isi nilai redaksi pemberitaan Metro Tv. Hal tersebut dilakukan, mengingat cukup banyak berita-berita dalam Metro Tv yang tidak objektif dan menjadi semacam politik pencitraan pemilik media Metro Tv, yaitu Surya Paloh bersama Parpolnya – Nasional Demokrat (Nasdem). Kala itu Luviana bersama rekan-rekan mempertanyakan dan menggugat Metro Tv agar menjadi media massa yang netral, tidak ada intervensi kepentingan pribadi dan golongan (parpol) pemiliknya.
Selain itu, Luviana juga merupakan salah satu orang yang paling lantang menyuarakan tuntutan mengenai perbaikan kesejahteraan karyawan. Luviana beserta beberapa rekan-rekan lainnya ingin mendirikan serikat pegawai Metro Tv. Tujuannya yaitu agar para jurnalis-jurnalis Metro Tv memiliki kebebasan berusara, menyebarkan informasi yang se-objektif mungkin,  dan dengan keberadaan serikat pegawai tersebut, maka hak-hak kepegawaian mereka dapat terjamin oleh Metro Tv.
Hasil dari yang telah mereka upayakan, ternyata tidak sesuai ekspektasi. Akibat menyuarakan pendapat dan isi hatinya tersebut, malah membuat Luviana dan rekan-rekannya tersandung kasus yang sungguh ironis. Kasusnya bermula ketika tiba-tiba ia dipindah tugaskan, dari newsroom atau ruang redaksi, ke bagian HRD (human resorce development). Kala itu Ia menolak keputusan tersebut, pasalnya Luviana merasa jiwanya adalah sebagai jurnalis yang berkutat dengan berita, maka tempat yang cocok baginya adalah di news room, bukan di bagian HRD.
Ketika Luviana mempertanyakan apa kesalahan yang di perbuatnya sampai harus dipindah tugaskan, bagian manajemen kepegawaian Metro Tv, tempat ia bertanya justru mengatakan bahwa Luviana tidak punya kesalahan apa-apa. Pada saat itu, pihak Metro Tv secara keseluruhanpun tidak bisa menunjukkan apa kesalahannya.
Meski tanpa bukti mengenai kesalahannya, Luviana tetap tidak diperbolehkan lagi bekerja di bagian news room sebagaimana biasanya. Semenjak tanggal 11 april 2012, ia bahkan sudah tidak diperbolehkan untuk sekedar masuk kedalam ruang redaksi.
Berbagai upaya dialogis dengan pihak Metro, khususnya bagian kepegawaian telah ia lakukan untuk mendapatkan kejelasan mengenai alasan dan kejelasan nasibnya beserta kedua rekannya untuk ke depannya. Tak ada titik temu.  Dialog demi dialog selelui menemui jalan buntu. Status kepegawaian Luviana, dan dua orang lainnya tetap menggantung. Hingga akhirnya beredar kabar bahwa mereka bertiga pun dinonaktifkan sebagai wartawan atau pegawai Metro Tv.
Tentunya hal tersebut sangat mengecewakan, padahal maksud Luviana beserta rekannya itu baik. Mereka menyuarakan dan mengusahakan hak mereka sebagai jurnalis yang notabene adalah seorang pegawai pada pihak Metro Tv. Lalu harapan mereka juga adalah ingin mempunyai media dengan konten siaran yang lebih baik, yang bebas dari intervensi kepentingan pemiliknya. Karena tidak mendapat kejelasan mengenai nasibnya, Luviana berjuang dengan menggelar demo atau orasi bersama kaum buruh yang lainnya. untuk memperjuangkan haknya sebagai jurnalis dan menuntut kepada Metro Tv agar mempekerjakannya kembali.
Selain itu, Luviana berserta teman-temannya juga sudah mengirimkan surat mediasi kepada Surya Paloh yang untuk kedua kalinya. Sampai akhirnya Surya Paloh memenuhi permintaan untuk bermediasi. Dalam mediasi yang di lakukan tersebut, sempat terjadi debat pendapat antara pihak Surya Paloh dan Luviana beserta rekan. Suasana sempat memanas dan mengharukan saat akhirnya Luviana tak kuasa menitikan air mata. Dialog dalam mediasi tersebut menghasilkan keputusan dari pihak Surya Paloh. Saat itu Sura Paloh menyatakan bahwa Luviana bisa kembali bekerja sebagai jurnalis di Metro Tv.

Namun ironis, setelah itu Luviana mendapatkan Surat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari pihak Metro Tv, padahal baru sekitar satu jam yang lalu ia beserta rekan-rekan yang mendukungnya melakukan mediasi dan negosiasi. Alasan pemutusan hubungan kerja tersebut, karena Luviana dianggap telah melakukan pelanggaran berat, yaitu pencemaran nama baik perusahaan Metro Tv dengan melakukan berbagai orasi, juga mengajak teman-teman untuk mendukung kesejahteraan. Dari tindakan Surya Paloh ini, Surya Paloh dianggap pembohong dan melakukan restorasi palsu.
Karena ketidak konsistenan perkataan dan realisasi tersebut, Surya Paloh lalu dianggap sebagai musuh Gerakan Buruh Indonesia, dan sebagai tokoh Restorasi palsu

Hari Siswandi dan TV One.
Kasus kedua yang di munculkan dalam film adalah tentang Hari Siswandi. Hari Siswandi merupakan salah seorang korban dari ribuan korban bencana Lumpur Lapindo. Ia melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan tentang uang ganti rugi yang belum di bayar lunas oleh PT. Lapindo Jaya kepada para korban lumpur, di Porong-Sidoarjo.
Aksi Demonstrasi menuntut tanggung jawab dari PT. Lapindo yang masih merupakan perusahaan milik Grup Bakri tersebut, di realisasikan dengan cara melakukan aksi jalan kaki dari Porong-Sidoarjo hingga ke Jakarta. Dalam aksinya, Hari Siswandi di dukung oleh beberapa rekannya, khususnya keluarganya.
Aksi yang dilakukan atas dasar nekat tersebut, ternyata mendapatkan simpati yang luar biasa dari masyarakat. Hari mengaku, masyarakat yang di temuinya dalam perjalanan dari Porong-Sidoarjo menuju Jakarta, memberikan bantuan moril dan materiil. Sebelumnya Pa Hari dan beberapa temannyapun pernah melakukan aksi protes melumuri badan mereka dengan menggunakan lumpur dari limbah Lapindo.
Perjalanan atau kisah Hari Siswandi berjalan kaki dari Porong ke Jakarta tersebut, tentunya juga menarik perhatian berbagai media. Aksinya terekam dalam sorot kamera dan catatan pena para jurnalis, dan diantara media massa elektonik khususnya televisi, yang terkesan paling tajam menyorot kasus ini adalah Metro Tv. Pemaparan berita yang atraktif dan di kemas secara apik, kerap menghiasi pemberitaannya pada saat itu. Sorotan berbagai media dan khususnya sorotan tajam Metro Tv, tentunya membuat kasus Hari Siswandi yang menuntut keadilan dari Bakrie Grup tersebut, semakin diketahui masyarakat luas.
Citra Grup Bakri, Tv One, dan sosok Abu Rizal Bakri tentunya sangat  terancam, terlebih karena Abu Rizal Bakrie di prediksi akan mengikuti pemilihan presiden di tahun 2014 mendatang. Untuk meminimalisir bola liar yang mulai merebak luas, sempat muncul berbagai macam spekulasi mengenai Pa Hari, spekulasi tersebut muncul khusunya dari pihak Tv One. Dalam sebuah pemberitaanya, Tv One pernah berspekulasi bahwa Pa Hari bukan benar-benar merupakan korban Lumpur Porong-Sidoarjo, bahkan Pa hari Bukanlah orang Sidoarjo.
Hari Siswandi yang mengetahui mengenai pemberitaan tersebut, tentunya marah. Sebagai luapan kemarahannya terhadap pemberitaan Tv One tersebut, jika aksinya sedang direkam oleh para wartawa, Hari tidak mengizinkan wartawan dari media Tv One untuk meliputnya. Ia tidak ingin aksinya tersebut di tampilkan di Tv One lagi. Baginya Tv One telah menyebarkan berita kebohongan berkaitan dengan dirinya.
Namun sebuah manipulasi sepertinya telah di lakukan oleh pihak Bakrie dengan menggunakan Tv One sebagai alat pencitraan atau pemulihan nama baik. Setelah pemberitaan demi pemberitaan mengenai Hari Siswandi dan Bakri beserta Tv One tersebut makin merebak, Pa Hari Siswandi yang ketika itu sudah sampai di Jakarta, muncul dalam sebuah acara Berita Malam di Tv One. Dalam acara berita yang berskala siaran secara nasional tersebut, Pa Hari justru menyatakan hal yang sebaliknya dari apa yang ia suarakan selama ini di jalanan dari Porong Sidoarjo menuju Jakarta.
Hari Siswandi yang kala itu hadir dengan ditemani oleh Istri dan anaknya, menyatakan permohonan maafnya kepada publik, khususnya kepada pihak Abu Rizal Bakrie dan Tv One. Ia mengaku bahwa selama ini ia salah dan keliru telah menjelek-jelekkan nama Abu Rizal Bakrie kepada publik.Dan Dalam acara berita tersebut, Pa Hari justru malah berterima kasih kepada pihak Bakrie. Setelah pernyataannya tersebut, Bapak Hari tidak kembali ke Sidoarjo dan tidak diketahui keberadaannya.

 Korelasi dari kedua tema tersebut
Dalam film dokementer berjudul “Di Balik Frekuensi” tersebut, kasus Luviana dan kasus Hari Siwandi, di munculkan secara bergantian. Dengan demikian penonton seakan diajak untuk membandingkan, mencari perbedaan, dan menemukan pula persamaan bahkan korelasi diantara dua kasus yang menyangkut dua stasiun televisi berita swasta tersebut.
Secara singkat, Film Di Balik Frekuensi menyoroti tentang ketidak berimbangan Metro Tv dan TvOne dalam menyajikan berita, juga menyoroti tentang betapa praktik konglomerasi sangatlah sulit untuk dilawan. Maka dibutuhkan keterlibatan atau kejasama berbagai pihak.
Di penghujung film juga di paparkan tentang media-media yang berkembang di Indonesia, dari radio, televisi, cetak, dan yang sedang tren saat ini adalah media online. Media-media yang berkembang di Indonesia tersebut hanya dimilki oleh 12 orang saja, dengan kata lain telah terjadi konsentrasi kepemilikan media yang dikenal dengan istilah konglomerasi media. Konglomerasi media dan penguasaan frekuensi publik oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik politik, maupun finansial, tentulah sangat berbahaya, karena renan dengan penyalahgunaan untuk kepentingan golongannya masing-masing. Padahal media massa merupakan sesuatu hal yang harus berpihak pada kepentingan masyarakat luas, khusunya yang tertindas. Maka, konglomerasi media yang saat ini semakin menggurita di ranah media Indonesia, sangat ditentang oleh para wartawan yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI). 
Epilogue Film
Bagian akhir cerita atau epilog film memberikan hiburan kepada para peserta, terbukti dengan gelak tawa dari para peserta saat melihat bagian akhir ini.
Pada bagian epilog, film ini menampilkan mahasiswa-mahasiswa yang baru  saja di wisuda. Mahasiswa-mahasiswa tersebut masih memakai baju toga dan atribut yang lengkap –khas wisuda. Lalu ada seorang mahasiswi yang diwawancara mengenai harapan kedepannya tentang dunia kerja. Mahasiswi tersebut menjawab bahwa setelah lulus tersebut, ia ingin bekerja di media.
Setelah itu ditampilkan pula seorang pria bernama Ucup, yaitu salah seorang pria yang baru lulus kuliah dan akan mencari kerja di media. Di tampilkan bahwa dia akan melamar kerja ke Metro Tv. Ucup berangkat dari Bandung ke Jakarta dengan menggunakan kereta.
Dengan ekspresi yang polos dan menggemaskan, tokoh bernama Ucup tersebut, menyatakan bahwa “In media, we trust! Harusnya media itu memberikan fakta yang bukan fuck you! To informs, to educate, dan peran-peran lainnya” gelak tawa dan tepuk tangan seisi ruangan pun menggema mendengar perkataan Ucup tersebut.
Dialog Ucup ditutup dengan kata-kata yang kali ini membuat penonton di ruangan aula UNISBA nampaknya terhanyut. Ucup menyatakan, jika nanti dia sudah menjadi seorang jurnalis, ia akan menjadi jurnalis yang memanusiakan manusia dan mengembalikan imej media yang dulu. Ia akan berusaha sebisa mungkin menampilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat.
Gambar dalam film berganti dengan gambar berwarna hitam pekat. Dalam layar yang berwarna hitam pekat tersebut, terdapat beberapa tulisan penutup dari film, yang intinya menyebutkan bahwa “Setiap tahun ribuan sarjana (baru) mencari kerja di dunia media”. Maka pengetahuan mendalam mengenai dunia media yang sesungguhnya jelas haruslah dimiliki. Lalu ada pula tambahan kata kata yang bertuliskan “Cerita dalam film Di Balik Frekuensi ini merupakan sedikit dari sekian banyak cerita di balik realitas frekuensi media.”
Tepat pada pukul 16.50 wib, Film berjudul “Dibalik Frekuensi” pun selesai. Suasana saat pemutaran film yang di dominasi oleh keheningan, langsung berganti dengan riuh tepuk tangan dari seisi ruangan aula UNISBA. Tentunya hal tersebut menandakan apresiasi yang positif dari para penonton terhadap film. Lampu ruangan pun kembali menyala, dan ruangan pun kembali terang oleh sinar lampu.





Pengantar Diskusi
Menonton tayangan film ini pasti tidak lengkap tanpa adanya diskusi. Sesaat setelah film selesai di tayangkan, diskusipun dimulai, tepatnya dimulai pada pukul 16.56 WIB. Dalam sesi diskusi tersebut, para peserta yang hadir boleh mengajukan tanggapan ataupun pertanyaan seputar film Di Balik Frekuensi yang telah telah ditayangkan. Sesi diskusi pun dibuka dengan menghadirkan Ibu Santi Indra Astuti, mba Ucu Agustin, dan mba Ula. 
Yang pertama kali angkat bicara dalam sesi ini adalah Mba Ucu Agustin selaku produser film Dibalik Frekuensi. Pemaparan oleh mba Ucu diwarnai tepuk tangan saat mba Ucu menyampaikan statementnya bahwa tidak perlu ijin saat mengambil gambar untuk pembuatan film ini, mereka hanya meminta ijin kepada Luviana saja untuk dapat direkam segala aktivitas dalam memperjuangkan haknya tersebut. Selain itu, mba Ucu juga mengatakan bahwa pasti ada sesuuatu yang tidak diketahui oleh kita atau masyarakat umum di balik media, dan Tv itu bisa begitu saja membolak-balikkan berita atau kenyataan yang sebenarnya. Selebihnya, mba Ucu memaparkan tentang hal-hal berkaitan film yang di directnya tersebut.
Berbicara mengenai proses, film Di Balik Frekeunsi tentunya memakan waktu yang sangat lama. Karena filmnya merupakan film dokumenter, maka semua hal berkaitan kasus-kasus yang dipaparkan di dalamnya tentu merupakan hal nyata. Data-data berupa fakta di dapat langsung, dan ada pula yang merupakan tambahan dari hasil riset atau penelitian pihak lain.
Mba Ucu memaparkan, semenjak peristiwa kehadiran Hari Suwandi di tv One, dan mengklarifikasi kekeliruannya karena telah memaki atau menghujat Abu Rizal Bakrie, Hari seakan menghilang ditelan bumi. Jejaknya sulit ditelusuri, sehingga tidak dapat lagi di konfimasi lebih lanjut oleh jurnalis lainnya dan oleh Ucu berserta tim.
Tanggapan mengenai film selanjutnya datang dari bu Santi Indra Astuti. Tepuk tangan sangat meriahpun menghangatkan suasana, saat ibu Santi menyampaikan statement “syukurlah saya bukan jurnalis, tetapi saya adalah orang yang memarahi para mahasiswa calon jurnalis”. Menurut bu Santi, Film Dibalik Frekuensi ini merupakan film yang luar biasa, karena secara real memotret realitas kehidupan media yang sebenarnya, juga di kemas secara menarik dan artistik. “Kalau kita belajar di kelas, kita akan mendapati  bahwa yang dipelajari merupakan sesuatu yang sangat ideal, sangat textbook. Akan tetapi setelah realitas di lapangan, itu malah sebaliknya.” Begiulah ucap bu Santi.
Selain itu, bu Santi juga mengatakan bahwa melalui film tersebut, kita jadi dapat melihat secara lebih jelas mengenai manajemen atau strategi mengelola isu yang dilakukan sangat baik sekali oleh Metro  Tv dan Tv One. Media pada kenyataannya telah menciptakan sebuah industri luar biasa yang bernama korporasi. Kita juga dapat melihat betapa hukum yang di dirikan di Indonesia belum banyak berpihak pada kepentingan publik.
            Pesan lain yang terkandung dalam film inipun memanamkan bahwa ketika ingin menjadi seorang pekerja dalam bidang informasi, kita harus dapat menjalankannya secara kaffah atau menyeluruh. Beliau berharap semoga masih banyak pula orang-orang yang nantinya akan membuat film-film seperti “Di Balik Frekuensi” tersebut.

Sesi Pertanyaan dan Diskusi
Pemaparan singkat dari para pembicara mengenai tanggapan film, kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Peserta yang hadi masih terlihat antusias menyimak jalannya acara, karena saat sesi pertanyaan dan diskusi benar-benar di buka,  riuh tepuk tangan kembali bergema, menghangatkan suasana.
Penanya pertama adalah Kania, mahasiswa dari Jurnalistik UNPAD. Di depan podium, Kania menyampaikan pertanyaannya tentang bagaimana mulanya tema frekuensi  dapat menarik perhatian Mba Ucu, Mba Ulla dan tim untuk kemudian mengangkatnya kedalam sebuah film? Lalu bagaimana hingga akhirnya dapat mengaitkannya dengan korporasi media?
Pertanyaan tersebut langsung ditanggapi oleh Mba Ucu, yang memberikan jawaban yang cukup mendetail. Menurut Mba Ucu, Film Di Balik Frekuensi dibuat berdasarkan dari data riset, dan dalam perjalanannya, mereka  juga mendapatkan dukungan dari oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan tentang media. 
Yang di ambil lalu ditayangkan tersebut bukan sekedar kesimpulan pribadi, tetapi hasil riset mengenai 12  konglomerasi media yang ada. Data-data dalam film merupakan hasil riset kelompok riset mas Anwar Nugroho – seorang pakar Inovasi media dan pembangunan dari Mancharster University. Kelompok atau lembaga riset tersebut bernama CIPG. Mereka melakukan Risetnya sekitar setahun dua tahun, dengan hasilnya yang demikian.
Mba Ucu menerangkan bahwa sebenarnya riset  yang dilakukan oleh pihak CIPG tersebut berawal dari gosip-gosip atau quote-quote di kalangan jurnalis media sendiri. Lalu Lembaga riset CIPG ingin agar gossip-gosip atau quote-quote atau percakapan dikalangan jurnalis media tersebut dapat dikutip secara intelektual dalam format yang bisa dinikmati oleh banyak orang. Bahkan mereka membuat/melakukan riset yang resmi, dan hasil risetnya dapat di download oleh teman-teman di CIPG secara gratis. Saat Mba Ucu beserta tim dari Komunitas Gambar Bergerak hendak memfilkannya dalam film dokumenter “Di Balik frekuensi” tentunya pihak CIPG sangat mendukung.
Lebih lanjut Mba Ucu mengatakan bahwa Isu-isu mengenai Frekuensi seperti itu sebenarnya sudah sangat di ketahui secara luas di kalangan media. Bagi mereka, itu merupakan isu yang tidak baru, tapi isu tersebut selalu di coba untuk di tutup-tutupi oleh pihak media, dan publik tidak dapat mengaksesnya. Berangkat dari hal tersebut, Ucu dan kawan-kawan di komunitas gambar bergerak  ingin share atau berbagi pengetahuan itu melalui film Di Balik Frekuensi kepada teman-teman mahasiswa yang ingin mengetahuinya.
Dari segi judul film, Ucu dan teman-temannya di komunitas Gambr Bergerak sempat juga mengalami kebingungan atau dilema menentukan judul yang pas untuk film. Film sempat diberi judul “Frekuensi Public”. Akan tetap karena judul tersebut diangap kurang mencakup seluruh isi cerita dalam film, akhirnya tim menemukan judul dianggap pas, yaitu “Di Balik Frekuensi” . Judul tersebut merangkum segala hal di balik media yang menggunakan frekuensi dalam operasionalnya. Di tengah-tengah saat menyampaikan jawabannya tepuk tangan tidak henti-hentinya bergemuruh.
Pertanyaan kedua disampaikan oleh seorang koresponden dari majalah TEMPO yang bernama Galih. Sebeum mengutarakan pertanyaan, Galih terlebih dahlu mengutarakan apresiasinya terhadap film Di Balik Frekuensi. Menurutnya tersebut merupakan film yang baik untuk dipublikasikan kepada publik sebagai bentuk edukasi. Bahkan dapat menjadi bahan edukasi untuk para jurnalis serta para calon jurnalis.Setelah mengemukakan apresiasinya itu, barulah Galih mengutarakan pertanyaannya. Galih menanyakan bagaimana menghadapi tekanan dari atasan atau pemimpin korporasi? Dimana dalam melawan tekanan tersebut biasanya terdapat ancaman terhadap jurnalis?
Ketika pertanyaan tersebut dilayangkan, Mba ucu langsung menanggapi bahwa jawaban dari pertanyaan Galih tersebut seharunya di jawab langsung oleh Mba Luviana, karena mba Luviana merupakan  praktisi jurnalis. Tapi karena saat itu Luviana belum hadir di ruangan, maka Mba Ucu sedikit menanggapi dan sedikit memberikan jawaban.
Sebelum menjawab pertanyaan, Mba Ucu memberikan sekilas pengetahuan atau sekilas informasi, bahwa TEMPO merupakan satu-satunya media yang kontributor atau korespondennya memiliki serikat pekerja. Serikat pekerja tersebut bernama SEPAKAT (Serikat Pekerja Koresponden TEMPO). Mba ucu menambahkan, dari ribuan usaha media yang ada di Indonesia Hanya 34 saja yang memiliki serikat pekerja. Dan salah satunya adalah TEMPO dengan Serikat bernama SEPAKAT tersebut.
Lalu jawaban yang diutarakan oleh Mba Ucu atas pertanyaan galih yaitu : ada 2 hal yang dapat kita lakukan dalam menghadapi tekanan dari pemilik media tersebut. Pertama harus tetap pintar, dan yang kedua adalah harus tetap professional. Dengan kepintaran yang tetap dipertahankan, jurnalis tidak akan bisa di bodoh-bodohi. Lalu cara yang kedua adalah tetap profesional, dengan begitu jurnalis akan tetap menjadi jurnalis yang rajin, memiliki banyak relasi serta informasi.
Lalu Mba Ucu meminta Bu Santi untuk memberi tanggapan atas pertanyaan Galih tersebut. Dengan lugas bu Santi menyatakan bahwa media-media korporasi atau kapitalis tersebut rasanya memang mengintimidasi pada kebebasan bersuara para jurnalis. Tapi kita juga harus menyadari, bahwa kita hidup dalam dunia dimana praktik-praktik jurnalistik tidak hanya dijalankan oleh industri-industri mainstream berskala besar seperti media-media korporasi yang kapitalis.
“kita juga bisa kok berinterpreneur dengan informasi. Sekarang juga sudah mulai berkembang juga kan citizen journalism atau jurnalisme warga. Dan dibanyak tempat, Kita harus juga ingat bahwa gerakan citizen journalism juga memiliki kekuatan atau powerfull juga. jurnalisme warga juga bisa sama ampuhnya dengan jurnalisme mainstream, atau korporasi-korporasi media. Dengan demikian, Kita juga bisa sama-sama untuk kemudian menyajikan kepada masyarakat mengenai informasi yang cerdas, menyehatkan dan objektif. Independen.tidak dsetir oleh korporasi-korporasi media dengan berserikat men pekerja media yang juga independen.” Jelas bu Santi.
Tepat pada pukul 5.16 WIB, pun mba Luviana hadir di aula utama UNISBA, kebetulan Diskusi mengenai Film masih berlangsung. Kedatangan Luviana tersebut disambut dengan riuh tepuk tangan yang menggema di seisi ruangan, menandakan antusiasme orang-orang yang hadir.
Beberapa saat setelah tiba, mba Luviana langsung di todong dengan pertanyaan dari Galih, koresponden TEMPO, yang sebelumnya sempat di jawab pula oleh Ucu Agustin dan Ibu Santi. Pertanyaan yang diajukan pula pada Luviana yaitu bagaimana menghadapi tekanan dari atasan atau pemimpin korporasi? Dimana dalam melawan tekanan tersebut biasanya terdapat ancaman teradap jurnalis?
Setelah mengucapkan terima kasih, kemudian Luviana mengucapkan permononan maafnya karena datang terlambat ke tempat acara. Tanpa berlama-lama, Luviana langsung menjawab, bahwa dalam konteks demikian, sesungguhnya bila memiliki kekuatan seperti temen-temen di buruh pabrik yang biasanya memiliki serikat pegawai, maka melawan tekanan dari pemimpin itu sesungguhnya diperbolehkan. Tidak-kenapa-kenapa, karena ketika ada satu buruh yang melawan, sesungguhnya ada seribu buruh lainnya di belakang dia untuk membantu melawan. Namun yang demikian justru sulit terjadi di media. Teman-teman jurnalis di media tempat kita berada, sulit diorganisir untuk membantu kita.
Jadi kuncinya adalah memang harus menggunakan taktik atau strategi. Ada banyak strategi yang dapat dilakukan, bisa strategi satu lawan Satu, dimana maju sendirian, lalu dengan resiko di PHK secara langsung. Selain itu juga dapat menggunakan strategi melingkar (diskusi duduk bersama), mengorganisir teman-temen, mengkonsolidasi, dan maju bersamaan. Tapi karena teman-teman di media yang bersangkutan biasanya sulit untuk bertindak sesuai ekspektasi, dapat pula melancarkan strategi lainnya yang berupa meminta bantuan pihak lain, di luar media tempat kita bekerja.
Luviana menuturkan, ketika menghadapi kasus tersebut, ketika segala upaya merangkul teman-teman gagal dan mereka tidak dapat berkontribusi banyak, yang kemudian pertama di hubungi oleh Luviana adalah teman-teman di KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Luviana juga meminta bantuan dari Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) pusat.
Menurut Luviana, bergerak bersamaan dan masuk dalam sebuah organisasi merupakan sebuah jawaban. Luviana mengaku beruntung bergabung bersama AJI, karena tempatnya bekeja saat itu (Metro Tv) tidak mempunyai serikat pekerja didalamnya. Dengan bergabung bersama organisasi atau AJI, Luviana mempunyai rekan-rekan yang siap membela bila terjadi ada apa-apa nanti.
Luviana juga menuturkan bahwa AJI memiliki ikatan organisasi yang kuat semenjak tahun 1996. Luviana dan rekan-rekan lainnya di AJI bersama-sama selalu mengkampanyekan wartawan anti amplop, memperjuangkan kebebasan pers, memperjuangkan serikat pekerja, dan hal-hal lainnya yang layak untuk diperjuangkan sebagai seorang jurnalis.
Berkaitan mengenai upaya melawan tekanan, Luviana mengatakan, jika diantara semua strategi advokasi tersebut sudah dilakukan, dan tetap tidak digubris, maka pilihannya adalah berjuang secara terang-terangan dengan melakukan berbagai publikasi secara luas.
Pertanyaan ketiga di sampaikan oleh Ayub, Mahasiswa Fikom UNISBA. Seperti halnya beberapa penanya sebelumnya, Ayub pun memberi tanggapan terlebih dahulu mengenai Film Di Balik Frekuensi. Baginya, Film Di Balik Frekunsi tersebut juga merupakan film yang menarik, karena membuka aib media. Lalu yang menjadi pertanyaanya adalah bagaimana reaksi dari para pekerja media ketika melihat film tersebut?
Yang menjawab secara lugas pertanyaan dari Ayub ini adalah Mba Ucu. Mba Ucu megatakan bahwa sebelumnya film Di Balik frekuensi yang mereka garap juga pernah diputar di Komnas Perempuan, LBH Jakarta, dan juga ditayangkan di  Dewan Pers, yang artinya film tersebut telah di tonton oleh para jurnalis atau rekan media. Jurnalis atau praktisi media yang hadir di Dewan Pers saat itu terdiri dari berbagai media. Ada yang berasal dari media luar bahkan ada juga rekan-rekan jurnalis dari medianya Metro Tv dan Grup Bakrie (TvOne, Antv).
Dari pengamatan Mba ucu dan Komunitas Gambar Bergerak sejauh ini, belum ada respon negatif dari rekan-rekan media tersebut. Film ini merupakan film untuk semua, bukan bermaksud untuk sangat memojokkan, tapi mencoba memperlihatkan realitas di lapangan saja. Film ini merupakan salah satu upaya desakralisasi media. Bahwa selama ini media dianggap mulia dengan menyampaikan berbagai informasi. Maka dengan adanya film ini, diharapkan khalayak menjadi lebih kritis dan cermat menanggapi media.
Mba Ucu mengatakan bahwa film ini dengan sudut pandang luas, dengan tetap mempertimbankan tentang bagaimana caranya agar media juga tetap memiliki citra yang positif. Walau bagiamanapun, kehadiran media juga sangat dibutuhkan. Ia menekankan, bahwa media sesungguhnya adalah partner dalam mengembangkan demokrasi. Maka tugas kita adalah memperbaiki keadaan media bila ternyata media sendiri sudah tidak demokratis.
Pertanyaan Ayub ini merupakan pertanyaan terakhir, padahal masih ada tiga orang yang ingin bertanya. Namun karena sudah sampai di penghujung acara, pertanyaan pun bisa dilanjutkan di belakang panggung saja.
Karena di awal acara Bu Santi menjelaskan bahwa Materi Pemutaran Film dan Diskusi Film “Di Balik Frekuensi” ini akan menjadi materi bagi UTS mata kuliah Media Literasi, maka Mba Ucu berpesan kepada para mahasiswa untuk menshare materi yang di dapat tersebut di ruang dunia maya. Boleh di publikasikan atau di upload di facebook, blog, twitter, atau bisa juga mengirim email ke pihak mereka. Hal tersebut merupakan upaya untuk semakin mengkampanyekan secara  luas tentang mengenai realitas media dan untuk berbagi tentang apa pun yang di dapat dari acara tersebut.
Pemutaran Film dan Diskusi Film “Di Balik Frekuensi”, yang persembahkan oleh Sepik Kelub beserta Fakultas Ilmu Komunikasi UNISBA pun selesai. Acarapun di tutup secara resmi dengan penyerahan tanda terima kasih berupa souvenir dari pihak UNISBA kepada Ucu Agustin (sutradara Di Balik Frekueni) Mba Ula (Komunitas Gambar Bergerak) dan Luviana. Tepat pada pukul 17.37 WIB, acarapun benar-benar berakhir. Seketika ruangan Aula UNISBA menghangat dengan riuh tepuk tangan yang merupakan bentuk apresiasi atas penyelenggaraan Pemutaran Film dan Diskusi Film “Di Balik Frekuensi”, dan juga sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras Mba Ucu dan Tim menyajikan film yang berkualitas.

Sebelum membubarkan diri dan meninggalkan ruangan aula UNISBA, para peserta, khusunya mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Media Literasi menandatangani absen kehadiran dari dosen masing-masing terlebih dahulua. Maka suasana aula menjadi ramai dengan mahasiswa yang mengantri giliran untuk menandatangani absensi.

Selesai.

1 comment: