Saturday 9 March 2013

Jurnalisme Radio


Mata Kuliah : Jurnalisme Radio
Semester          : 6
Dosen              : Bu Santi Indra Astuti


Sekelumit Tentang
Jurnalisme Radio

BAB 1.
TENTANG RADIO

Bab. 1 ini, menguraikan Sejarah Radio, Format radio, dan Revolusi radio.

Sejarah Radio
Dari sisi sejarah, Radio memiliki sejarah yang cukup panjang semenjak dahulu hingga menjadi seperti sekarang ini. Secara singkat, Radio adalah buah dari perkembangan teknologi yang memungkinkan suara di transmisikan secara serempak melalui gelombang radio di udara. Tahun 1896, Guglielmo Marconi menciptakan wireless telegraph yang menggunakan radio untuk membawa pesan dalam bentuk morse, lalu ia mendirikan perusahaan pengiriman pesan mengenai kedatangan dan keberangkatan kapal, mendirikan stasiun pemancar dan penerima, terutama di kawasan yang tidak terjangkau kabel telegraf dan belakangan bahkan mendirikan pabrik perakit dan penyedia perlengkapan radio.
            Potensi radio menjadi media jurnalistik yang mengabarkan peristiwa-peristiwa penting, mulai muncul pada tragedi tenggelamnya kapal Titanic pada tahun 1912. Ketika Kapal Titanic tersebut menabrak gunung es, radio mengirim pesan SOS dalam bentuk kode ke seluruh stasiun yang bisa menerimanya. Berkat hal tersebut, banyak nyawa yang terselamatkan, lebih dari itu, para Jurnalispun mendapatkan berita pertama tentang kejadian tersebut.

Format Radio
Pada awalnya radio memang digunakan untuk menyiarkan apa saja yang ingin disampaikan kepada massa dalam waktu serempak dan sesingkat-singkatnya. Namun seiring berjalannya waktu, dan seiring semakin banyaknya radio yang beroperasi, munculah format radio yang berbeda-beda.
Dalam arti sempit, format di dalam radio berarti susunan item program dalam satuan waktu. Salah satu format dalam radio yaitu adalah format clock. Format clock ini membedakan acara radio berdasarkan aktivitas pagi, siang, sore hingga malam. Susunan isinya disesuaikan dengan prediksi mengenai Lifestlye pendengar pada jam-jam tersebut. Pada pagi hari, disaat aktivitas memulai hari seperti berangkat ke kantor, sekolah, bekerja, atau melakukan aktifitas lainnya, maka program radio biasanya dipadati oleh laporan mengenai traffic report atau laporan lalulintas ketimbang diisi dengan musik. Sementara menjelang senja, program di dominasi oleh musik yang easy listening. Lalu malam hari semakin menyempit untuk pendengar dewasa.
Sementara dalam artian yang luas, format bisa diartikan sebagai susunan program radio secara keseluruhan, semacam menjadi penanda identitas yang terkemas dalam pelbagai program radio. Pada awalnya kemunculannya, tepatnya pada awal 1920 an, radio tidak mempunyai target pendengar tertentu, maka isi siarannyapun tidak tersegmentasi, atau easy mass programming (Vivian, 2006 : 159).
Barulah menjelang dekade tahun 1930-an, radio memiliki acara yang khusus dan baru, yaitu acara Talk Show Radio. Ketia acara talk show radio muncul, maka musik tidak lagi mendominasi, yang artinya tidak lagi menjadi atraksi utama. Pada era talkshow radio, radio berhasil meraih massa atau pendengar dalam jumlah yang signifikan, di iringi dengan kreatifitas orang-orang radio yang mengalir tanpa henti.
Pada dekade tahun 1950-an ketika Tv mulai meraih popularitas, format radio yang mass programmingpun perlahan-lahan ditinggalkan. Dan mulai munculah format siaran radio yang tersegmentasi, yaitu format penyiaran radio dengan format yang khusus atau spesifik untuk melayani khalayak yang juga lebih spesifik.
Program radio dengan format spesifik atau tersegmentasi di awali dari eksperimen penyiar Alan Freed di Clevelan dengan all rock n’ rollnya. Tanpa disangka, ternyata format tersebut mendapat respon yang baik dari khalayak, dan program hasil eksperimen Freen tersebut disiarkan di berbagai radio. Kemudian dari situlah, mulai banyak orang atau stasiun radio yang juga membuat program radio dengan format spesifik.
Format radio yang menjadi semakin beragam, disebabkan karena target pendengarnya juga semakin banyak. Music radio, oldtime radio, all-news, sport radio, talk radio, religious radio, dan radio ramalan cuaca, merupakan contoh-contoh jenis format berdasarkan pilihan content tertentu.
Yang saat ini paling lazim ditemukan adalah format yang disusun berdasarkan genre musik tertentu. Misalnya Top 40, country, jazz, rock, new age, adult contemporary, oldies, adult standards, Hispanik, dangdut, campur sari, dan lain-lain.
Selain itu ada pula radio yang di format berdasarkan hobi, misalnya radio otomotif, radio untuk pecinta fauna, radio untuk yang hobi memancing, hobi fotografi, dan masih banyak lagi segmentasi hobi yang lainnya. Ada pula yang berdasarkan Gender (radio Female dan Mustika untuk perempuan), Isu (Radio Metro untuk berbagi informasi mengenai lalulintas dan hokum, radio komunitas untuk aktivisme sosial), Profesi, kelas usia, dan lain-lainnya.

Revolusi Radio
Perkembangan industri atau pasar radio tak lepas dari perubahan teknologi. Teknologi pernah mengalami perkembangan pesat dan memunculkan gelombang revolusi tersendiri.
Dari perspektif determinis teknologi, perkembangan teknologi bukanlah merupakan suatu hal yang sederhana. Perkembangan teknologi merevolusi media, membentuk individu yang menggunakannya (user) bahkan membentuk masyarakat dan budayanya.
Pada awalnya, radio dimaksudkan sebagai alat telekomunikasi yang menjalankan fungsi sosial melayani masyarakat. Namun setelah didapati bahwa iklan dapat menjadi salah satu pendapatan radio yang sangat signifikan (bahkan utama), maka berkembanglah industri radio. Maka iklan sebenarnya adalah buah dari inovasi tidak sengaja yang memunculkan peluang mengeksploitasi ekonomi radio. 
Perhitungan harga pemasangan iklan dalam setiap media massa berbeda-beda, tegantung medinya. Bila iklan di media cetak biasanya tergantung dari space atau ruang yang dihabiskan untuk iklan tersebut. Semakin luas space yang digunakan, maka semakin mahal pula bayaran untuk pemasanngan iklan tersebut. Maka iklan di media elektronik biasanya didasarkan pada durasi, atau lamanya waktu iklan tersebut ditayangkan. Dalam dunia radio, istilah lain dalam penghitungan nilai iklan, didasarkan pada air time atau waktu siaran di udara.
Sistem radio pada awalnya sangat terintegrasi, dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan ketika radio mulai masuk kedalam ranah bisnis, dan teknologinya juga semakin memungkinkan untuk dioperasikan secara sederhana, maka radiopun menjadi terdesentralisasi. Kepemilikannya dapat jatuh ke tangan-tangan yang mengusahakannya. Kini tampak kecenderungan pasar radio berkembang kembali ke bentuk-bentuk jejaring dan sindikasi.
Revolusi Radio yang paling nyata adalah perubahan gelombang siaran dari AM (Amplitudo modulation) menjadi FM (frequency modulation). Gelombang FM dinilai lebih halus dan jernih sehingga popularitas AM tergeser. Namun AM pun kembali muncul, karena terbukti gelombang tersebut mempunyai daya jangkau (coverage) yang lebih luas.
Kemudian revolusi besar yang dialami oleh radio kembali terjadi manakala muncul atau ditemukan Digital Audio Broadcasting (DAB) atau sistem penyiaran berbasis digital, sehingga keterbatasan daya pancar gelombang FM yang awalnya hanya dapat bermain di areal lokalpuun teratasi.
Radio kini bukan lagi broadcasting yang membidik target segmen yang broad atau luas. Kini radio telah berubah dengan segmen yang menyempit dan terfokus. Maka sebenarnya radio bukan lagi sebagai broadcasting, melainkan narrowcasting.


BAB 2.
TEORI DAN MODEL

(Materi Minggu ke 4 Pertemuan Jur. Radio)
Rabu, 6 Maret 2013











Sejauh yang dapat ditelusuri, teori-teori khusus mengenai radio sangatlah sedikit bahkan dapat dikatakan tidak ada. Namun meski demikian, untuk menjelaskan fenomena radio sebagai media komunikasi massa, para cendekiawan atau para ilmuwan lebih  banyak mengacu pada teori-teori komunikasi massa, bahkan teori-teori sosial. Dengan cara itu, semua fenomena komunikasi terkait dengan radio dapat dianalisis dan dijelaskan merujuk pada teori-teori tersebut.

A. TEORI SEPUTAR DAMPAK
Teori-teori semacam ini mencoba mengaitkan proses atau alur komunikasi dengan efek atau dampaknya kepada khalayak.
1.   Teori Peluru Ajaib(The Magic Bullet Theory).
Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang tidak terbatas untuk menembus benak seseorang dengan sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan efek-efek instan.
2.   Teori Efek Terbatas (limited Effect)
Teori ini diangkat oleh Hadley Cantril bersama timnya secara massif sekitara tahun 1940. Hasil Penelitian Cantril mengawali penelitian yang terfokus pada limited effect atau efek terbatas, yang bersandar pada asumsi :
· Peran media massa ditengah masyarakat pada dasarnya terbatas.
· Media terutama Peran media massa dalam kehidupan individu bersifat limited atau terbatas, dll
· Media sebenarnya hanya pelengkap kehidupan manusia, dan tidak menggantikan kehidupan manusia seutuhnya. Manusia masih memiliki kendali mengatur kehidupan

Teori Efek terbatas ini terdiri dari :


- Teori Lingkar Kebisuan (Spiral of Silent)
Teori ini mengasumsikan bahwa orang-orang yang mempunyai pendapat/pandangan berbeda dengan pendapat dominan di media, cenderung akan berdiam diri karena takut ditolak atau tidak diterima lingkungannya, serta takut terpisah atau dikucilkan.
Untuk pihak yang berada di luar lingkaran media, yaitu khalayak pada umumnya yang memiliki pendapat atau pandangan berbeda tersebut, diistilahkan sebagai ‘mayoritas bisu’. Selain itu, teori ini juga membahas bahwa dalam diri khalayak ada persepsi selektif (selective exposure), yaitu bahwa orang mempersepsi pesan media sesuai dengan sikap dan keyakinan yang sudah ada sebelumnya, dan menolak yang dianggap tidak sesuai.
Teori ini biasanya dapat dilihat di runag-ruang pemberitaan. Dalam teori linkar kebisuan ini, hanya ada dua pilihan yaitu : menyingkir atau diam.

- Teori Kultivasi.
Teori ini mengasumsikan ada dua macam realitas. Realitas yang pertama adalah realitas faktual atau kejadian sesungguhnya, sementara realitas yang kedua adalah realitas simbolilk, yaitu gambaran realitas yang ditampilkan media melalui program-programnya.
Penonton atau khalayak media menjadi sasaran kultivasi atau penaman realitas simbolik yang disampaikan oleh media. Ketika mengonsumsi media yang sarat dengan kekerasan dalam intensitas yang tinggi, yaitu menghabiskan waktu sekitar 4 jam dan tergolong kedalam heavy viewer ayau penonton berat, maka dipercaya akan timbul sejumlah efek yang disebut dengan mean world syndrome (sindrom dunia nan kejam), yaitu :
  • Meningkatkan peluang terlibat dalam kekerasan
  • Takut berjalan sendirian dimalam hari
  • Salah satu persepsi mengenai aktivitas penegakan hokum
  • Secara umum, tidak mudah percaya kepada orang lain
Teori Gerbner mengenai kultivasi inipun dapat di adaptasi untuk menjelaskan pengaruh media komunikasi lain termasuk radio, yaitu ketika program populernya dikonsumsi khalayak secara terus menerus.
Teori kultivasi ini tergolong kedalam teori efek terbatas, karena tidak semua khalayak mengalami hipereralitas dan mean world syndrome tersebut. Yang  diasumsikan akan mengalami efek tersebut hanyalah orang-orang heavy viewer saja. Sementara orang yang tidak, tidak akan mengalami efek tersebut.

TEORI TENTANG PERAN
Teori seputar peran mencoba memperlihatkan tentang bagaimana peran media di tengah khalayak, baik dalam lingkup makroskopis maupun dalam lingkup mikroskopis.
1. Difusi Inovasi (diffusion of Innovasion)
Kata difusi meminjam konsep dari ilmu alam, yang dirumuskan Rofger dan Shoemaker (1971) sebagai proses dimana suatu penemuan disebarkan kepada masyarakat yang menjadi sistem sosial. Difusi tersebut mengacu pada penyebaran informasi baru, inovasi, atau proses baru ke seluruh masyarakat. Lalu yang disebut dengan inovasi adalah hal terkait dengan teknologi dan penemuan baru yang menunjang pembangunan.
Teori Divusi Inovasi ini mengandaikan bahwa inovasi akan berpindah dari satu titik ke ktitik yang lain, dimulai dari early adopters ke adopter lanjutan. Teori ini merupakan pengembangan dari teori dua tahap (two step flow of communication).
Terdapat serangkaian proses yang harus dilewati agar inovasi tersebut dapat tersebar secara luas dan menjadi bagian dari masyarakat. Proses tersebut dimulai dari akuisisi informasi, evaluasi informasi, hingga akhirnya mencapai tahap terakhir yaitu adopsi atau penolakan (Nuruddin, 2007 : 190).
Teori divusi informasi ini merupakan teori dengan lingkup makro atau pada lingkup sosial maysarakat yang luas. Contoh penerapan dari teori Divusi Informasi ini adalah :
-                     Sosialisasi program-program pemerintah melalui tokoh-tokoh tertentu baik secrala langsung maupun tidak langsung.
-                     Penyampaian pesan kepada masyarakat dengan menggunacakan cara tersebut dianggap akan lebih efektif.

2. Cognitive Science (Pengetahuan Kognitif)
Berbeda dengan teori divusi inovasi, teori Cognitive Science ini merupakan teori dengan lingkup yang sempit, yaitu lingkup individu. Teori ini populer sekitar tahun 1960-an dan menjadi basis dari penjelasan mengenai bagaimana media massa bekerja dalam taraf kognisi hingga memunculkan efek-efek tertentu pada tataran behavioral yang berupa perilaku atau tingkah laku.
Maka teori ini berjalan berdasarkan pada konsep manusia sebagai homo ludens atau manusia yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya. 
Menurut Albert Bandura, seorang tokoh psikologi Behaviorisme, televisi atau media massa lainnya termasuk radio menampilkan model-model yang menjadi acuan perilaku. Dengan mengamati model-model tersebut, khalayak belajar mengenai mana perilaku atau norma yang pantas, mana yang tidak. Mekanismenya yaitu melalui reward (ganjaran) and punishment (hukuman). Perilaku yang pantas akan mendapatkan ganjaran, sebaliknya, perilaku yang tidak pantas akan mendapatkan hukuman atau sanksi. Dan upaya mengikuti apa yang dilihat, didengar, serta dipelajari dari model yang ditampilkan tersebut, dinamakan dengan Imitasi atau peniruan.

3. Agenda Setting
Teori ini mengasumsikan bahwa agenda media akan mempengaruhi agenda publik. Isu-isu yang banyak diwacanakan di media-media, akan menjadi konsumsi publik, dan akhirnya memicu diskusi diantara mereka.
Dalam konteks lain, agenda media menjadi acuan publik untuk mengagendakan diri, termasuk menjadwalkan waktu. Perumus teori Agenda Setting ini adalah Mc Combs dan Shaw. Intinya, teori Agenda setting ini mencirikan relasi antara media dengan audience, dengan focus pada sisi media.
4. Uses and Gratification Theory
Teori teori Uses and Gratification ini titik fokusnya terletak pada sisi audience. Menurut teori ini justru bukanlah media yang di agendakan oleh khalayak, melainkan khalayak yang diagendakan oleh khalayak. Justru khalayaklah yang yang mempengaruhi tentang seperti apa isi media.
Katz (1974) merangkum logika teori ini dalam komponen-komponen sebagai berikut :
  • Faktor sosial psikologi yang menjadi sumber
  • Kebutuhan atau need, yang memunculkan
  • Ekspektasi atau pengharapan terhadap
  • Media massa atau sumber-sumber lain, hingga mengarah pada
  • Pola terpaan media yang berbeda-beda, hingga menghasilkan
  • Pemenuhan (gratifikasi) kebutuhan dan
  • Konsekuensi-konsekuensi lain, termasuk konsekuensi yang tidak diduga, atau tidak dikehendaki (Mc. Quail & Windahl, 1981 : 77)

5. Teori Normatif media.
Teori ini mengandaikan fungsi-fungsi dan peran-peran ideal media massa, maka teori ini mengasumsikan apa dan bagaimana seharusnya media massa berfungsi dan berperan ditengah-tengah masyarakat.
Dalam teori ini menyebutkan tentang pentingnya public sphere. Public Sphere merupakan sebuah situasi yang memungkinkan public mendiskusikan berbagai hal secara terbuka. Public Sphere atau yang dalam bahasa indonesianya disebut ruang publik, berlangsung ketika warga Negara melaksanakan hal berkumpul dan berserikat, guna mendiskusikan isu hari itu, terutama yang berkenaan dengan masalah-masalah politik. (Mc. Quail)
Karena negara modern menghimpun banyak penduduk, maka ruang public tersebut diwujudkkan dalam bentuk media. Maka media harus menjalankan fungsinya menjadi public sphere atau ruang public yang memberikan manfaat kepada publik.
Teori Normatif yang lain berbicara mengenai tanggung jawab sosial (Social Responsibility Theory). Teori ini mengasumsikan bahwa media massa memiliki tanggung jawab sosial untuk melayani masyarakat. Dengan kekuatan luar biasa yang dimiliki media massa, justru media massa juga dituntun untuk juga memberikan kontribusi yang besar.
Teori normative ini biasanya yang menjadi dasar dari aturan atau undang-undang penyiaran.

6. Teori Dependensi Media (Media System dependensi theory).
Teori dependesi Media karya Ball-Rockeach dan De Fleur (1967) ini merupakan teori yang berupaya menggabungkan semuanya.  Dalam teorinya, memperlihatkan bagaimana kondisi structural masyarakat, akan dapat menentukan potensi efek media dalam diri khalayak. Tepatnya, ada keterkaitan antara ketiganya –media, sistem sosial, dan khalayak. Ketiga hal tersebut sama-sama menimbulkan efek pada khalayak dalam tataran kognitif, afektif, dan behavioral.

Teori Kritis
-      Priming Theory
-      Mainstreaming Theory
-      Fear Effect
-      Desensitization / menurut Djalaluddin Rachmat (Agresi sebagai efek Komunikasi Massa)
-      Chatarsis Theory

Teori wacana kritis dan teori-teori pembingkaian (framing) memperlihatkan bagaimana kekuatan-kekuatan tertentu mengerangka dan membingkai teks-teks  media. Teks media bermacam-macam, bisa berupa berita, artikel, program radio, atau bahkan drama televisi.
Sosiologi media, adalah kumpulan teori yang  memperlihatkan bagaimana media dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar dirinya sendiri. Faktor-faktor tersebut dirangkum oleh Reese dan Shoemaker, yaitu :
1.   Individual, berupa keyakinan, latar belakang pendidikan atau profesi yang dimiliki oleh para pekerja media
2.   Media Routine berupa tata kerja media selaku produser teks
3.   Organisasional, berupa visi-misi atau tujuan yang dimiliki media.
4.   Extramedia, seperti persaingan antar media. Konstruksi siste pasar media.
5.   Ideologi yang mempengaruhi sistem tempat media beroperasi.
Framing adalah pendekatan yang digunaan untuk memahami ‘logika’ pengemasan tersebut dalam versi media itu sendiri. Framing adalah cara media mengonstruksikan realitas yang ditentukan oleh berbagai hal, mulai dari perspektif pembuat berita, kognisi sosial produser teks, sampai pada kategorisasi ‘kita’ dan significant Others. Model Framing inipun dapat juga digunakan untuk menganalisis radio.
Teori Ekonomi Politik
Ekonomi politik adalah pendekatan teoritik yang mencoba memperlihatkan bagaimana sistem-sistem di sekitar kita dipengarui oleh kontrol elit-elit tertentu atas fungsi-fungsi ekonomi. (Murdock, 1989 dalam Baran & Davis, 2006:241).
Ini adalah pendekatan yang berakar dari Marxisme, yaitu bagaimana base mempengaruhi superstructure. Dan Radio juga termasuk kedalam bagian superstructure tersebut. Contoh, betapa faktor ekonomi begitu mempengaruhi  atau menentukan politik dan strategi pengemasan serta penempatan radio, ditunjukan oleh yang namanya rating.
Teori determinisme Teknologi.
Pendukung teori ini beranggapan bahwa teknologi lah yang segalanya.Teknologi yang tadinya hanya difungsikan sebagai alat bantu, akhirnya membentuk user atau pengguna, dan pada gilirannya ‘membentuk’ masyarakat baru mengidnuksi perubahan budaya, serta memengaruhi sistem politik, sosial, dan ekonomi.
Teori Tentang Proses dan Produk
Fokus dari ragam teori ini terletak pada faktor-faktor media yang berkenaan dengan proses produksi produk-produk media.

MODEL DAN KLASIFIKASI
Selain dapat digunakan dalam menjelaskan proses, model juga dapat digunakan untuk menyusun klasifikasi. Berikut ini merupakan penjabaran model-model media komunikasi massa menurut Vivian :
1. Hot-Cool Media Model
Model ini diusulkan oleh Marshall Mc.Luhan (1911-1980). Ia membedakan hot and cool berdasarkan setidaknya oleh dua hal yaitu : (1) definisi yang akhirnya (2) menentukan tingkat keterlibatan khalayak dalam mengonsumsi media massa tersebut.
2. Entertainment-Informational Model
Model ini membagi media berdasarkan pada penekanan isinya, yaitu informasi ataukah hiburan (entertainment). Surat kabar selalu digolongkan sebagai media informasi, sebab isinya lebih banyak memuat informasi dibandingkan hiburannya, tercermin dari banyaknya berita, tajuk rencna, atau editorial, lembar opini atau artikel, karikatur, sampai selingan berupa teka-teki silang. Sementara itu, kaset rekaman dan film dikategorikan sebagai media hiburan karena isinya memang dimaksudkan untuk lebih banyak menghibur. Dan Radio dilategorikan sebagai media hiburan, karena sifat dasar radio yang atraktif dan auditif.
Teori ini memiliki kelemahan, yaitu seiring perkembangan zaman, media semakin mengembangkan diri dengan berbagai program, Hal tersebut menjadikan bias dalam pengkategorian secara baku.
3. Content Distribution Model
Pendekatan Content distribution Model ini tertarik pada amatan seputar industri media. Dengan  begitu kita akan dapat menganalisis keberadaan perusahaan media tersebut, sekaligus memahami isu-isu penting yag melingkupi dirinya sebagai sebuah perusahaan media.
Penekanan jenis-jenis perusahaan media, tersebut Didasarkan pada :
  • Siapa yang memproduksi (content unit)
  • Siapa yang mendistribusikan (distribution unit)
Beberapa perusahaan media lebih berkonsentrasi pada produksi isi, mereka kita kenal sebagai production house, semisal Multivision, Sinemart, dll. Atau perusahaan-perusahaan penerbitan buku, majalah, dan sebagainya. Perusahaan media lainnya berbisnis dengan mengekpoitasi ruang-ruang distribusi media, seperti  toko-toko buku, bioskop, dan jaringan sistem kabel. Di Indonesia contohnya adalah Gramedia, Gunung Agung, Togamas, atau jaringan bisokap Blitz Megaplex, 21, dan televisi kabel.
Beberapa perusahaan kadang-kadang didirikan untuk menyuplai (isi) sekaligus mendistribusikannya. Semuanya ingin dimonopoli, jika sudah begitu, akan menjadi sulit mengaplikasikan distribution model ini secara rigit.

Matural Model
Matural Model ini meperbincangkan tahapan-tahapan media massa., sehingga bermanfaat menjelaskan sejarah dan cara permunculan media komunikasi massa. Matural Model membagi tahapan perkembangan media :
1. Tahapan Inovasi
Ini merupakan tahapan dimana media tersebut baru ditemukan teknologinya. Belum terbayangkan, bahkan oleh penciptanya tentang sejauh mana dan kearah mana media tersebut terus berkembang. Pada radio, tahapan inovasinya berkembang pada sekitar tahun 1800-an dengan ditemukannya beberapa teknologi yang pada akhirnya bermuara pada radio.
2. Tahapan Kewirausahaan
Pada tahapan ini para wirausahawan mulai mengeksplorasi kemunginan-kemungkinan komersial yang bisa dimunculkan oleh bsinis media. Tentu saja, teknologi masih terus bermunculan, tetapi kini lebih terfokus. Menurut Vivian, tahapan ini juga tidak hanya diwarnai oleh eksperimen produk, pasar, dan user dari media, melainkan tahapan ini juga diwarnai dengan perebutan hak paten dan kasus-kasus hokum terkait hal tersebut.
3. Tahapan Stabilitas
Tahapan stabilitas ini tercapai manakala media komunikasi massa tertenu sudah luas dalam hal pemasarannya. Ini tentunya tidak terlepas dari hal pemanfaatannya yang meluas juga.
Mature atau berarti dewasa, artinya media telah melewati ketiga tahapan tersebut, mulai dari inovasi, kewirausahaan, dan stabilitas. Buku disebut-sebut sebagai media yang sudah mature atau sudah dewasa. Selain media kuno yang masih eksis hingga kini, industri buku juga sudah cukup mapan, tidak seperti internet yang masih jatuh bangun, dan banyak berada di tahapan eksperimental.

Elitist Politist Model
Model ini mengkategorikan media massa adalah dengan cara menilai kontribusinya bagi masyarakat, dengan demikian kita dihadapkan pada media elit dan media populis.
Yang disebut sebagai Elitist media atau media elit adalah jenis-jenis media yang berfungsi meningkatkan masyarakat (dalam hal apapun), serta memiliki kontribusi pada pencerdasan budaya. Contohnya : majalah-majalah serius, program televisi yang terfokus pada tema sejarah, rekaman-rekaman musik klasik atau contemporary jazz. Sedangkan populis media adalah jenis-jenis media yang produknya untuk memenuhi kebutuhan dasar yang dikehendaki pasar, seperti tabloid-tabloid sensasional, program reality show, lain sebagainya. Dan Radio bisa tergolong kedalam dua golongan tersebut, tergantung pada visi dan misi yang diterjemahkan kedalam program-programnya. 

No comments:

Post a Comment