Waktu tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi kita, karena dalam
kehidupan sehari-hari setiap orang selalu dibatasi oleh waktu. Namun apakah
setiap dari kita benar-benar mengenal apa itu waktu?
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1997), waktu adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan atau
keadaan berada atau berlangsung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval
antara dua buah keadaan atau kejadian, atau bisa juga merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian.
Skala waktu diukur dengan satuan detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, tahun,
windu, dekade (dasawarsa), abad, millennium, dan seterusnya.
Edwart
T. Hall membedakan konsep waktu menjadi dua, yaitu waktu Polikronik (P) dan
waktu monokromatik (M). Penganut waktu polikronik memandang waktu sebagai suatu
perputaran yang kembali dan kembali lagi. Mereka cenderung mementingkan
kegiatan-kegiatan yang terjadi dalam waktu ketimbang waktu itu sendiri,
menekankan keterlibatan orang-orang dan penyelesaian transaksi ketimbang
menepati jadwal waktu. Oleh karena itu, penganut waktu P cenderung lebih
santai, dapat menjadwalkan waktu berdasarkan beberapa tujuan sekaligus.
Sebaliknya,
penganut waktu monokromik (waktu M) cenderung mempersepsi waktu sebagai sesuatu
yang berjalan lurus dari masa silam ke masa depan (linier) dan oleh karena itu,
mereka memperlakukannya sebagai entitas yang nyata, dan bisa di pilah-pilah,
dihabiskan, dibuang, dihemat, dipinjam, dibagi, hilang atau bahkan dibunuh,
sehingga menekankan pada penjadwalan dan kesegeraan waktu. Penganut waktu Monokromik
(waktu M) ini cenderung waspada terhadap waktu, menghargai waktu, dan membagi-bagi
serta menepati jadwal waktu secara ketat, menggunakan satu segmen waktu untuk
mencapai suatu tujuan yang pasti.
Setiap
budaya memiliki konsepsi dan kesadaran
yang berlainan mengenai waktu. Kebanyakan budaya Timur (terlebih Indonesia),
Eropa Selatan (Italia, Yunani, Spanyol, Portugal), dan Amerika Latin menganut
konsepsi waktu P. Sedangkan konsepsi waktu Monokromatik (M) kebanyakan dianut
oleh budaya Barat, Eropa Utara, Amerika Utara, dan Australia.
Karena
dipengaruhi oleh konsep waktu M, warga New York, Jepang, Jerman, Swiss, dan
Negara lainnya yang kebanyakan warganya penganut konsep M, berjalan cepat
bagaikana dikejar setan, kontras dengan kebanyakan warga masyarakat di
Indonesia yang kebanyakan lebih senang berjalan santai, karena di pengauhi oleh
waktu P. Cara berjalan mahasiswa di kampus-kampus di Negara yang mayoritasnya
penganut konsep waktu M pun berbeda dengan cara jalan mahasiswa di
kampus-kampus Indonesia. Contoh, Ketika mahasiswa Amerika berjalan lalu bertemu
dengan kawannya saat berjalan, ia mengatakan “Hello” atau “Hi” lalu mengobrol
beberapa menit dan bergegas ke perpustakaan untuk belajar atau ke pondokannya
untuk mengerjakan tugas. Sedangkan kebanyakan mahasiswa Indonesia terlihat
lebih sering mengobrol panjang sambil berjemur di pelataran kampus.
Bagi
penganut waktu M, keterlambatan dalam sebuah pertemuan, dianggap sebagai sebuah
penghinaan. Dalam mereka, ketepatan waktu mengkomunikasikan penghormatan. Namun
dalam beberapa budaya lain, ketepatan waktu justru bisa menjadi sebaliknya.
Maka
apa yang dinamakan dengan keterlambatan dan toleransi terhadap keterlambatan
itu memanglah bervariasi dari suatu budaya ke budaya. Dalam budaya di Indonesia,
keterlambatan itu bervariasi dari suatu situasi dengan situasi lainnya. Kuliah
mahasiswa, seminar dosen, dan rapat pimpinan fakultas, dan acara-acara lainnya
bisa terlambat hingga satu jam bahkan mungkin lebih. Orang berstatus lebih
tinggi biasanya lebih di toleransi untuk dapat datang terlambat.
Itulah,
kebanyakan bangsa Timur, terlebih Indonesia memandang waktu dengan konsepsi P,
yaitu sebagai sesuatu yang tidak terinterupsi, tanpa perubahan yang penting,
jadi tidak terobsesi dengan jadwal waktu dan tidak memilah-milahnya secaraa
ketat. Barangkali karena konsep waktu P itu jugalah kebanyakan orang Indonesia
tidak dapat memahami makna antre yang merupakan salah satu perwujudan konsep
waktu M.
Realitas
lainnya, kebanyakan sopir bus di negera indonseia tidak menjadwalkan waktu
berangkat secara ketat, bus di kita kita baru berangkat bila kendaraan sudah
penuh sesak. Kalaupun sopir bus berbgegas dan bus di pacu dengan sangat cepat, jarang
sekali hal tersebut dilakukan untuk menepati jadwal waktu, melainkan karena
mereka dikejar setoran.
Di
Indonesiapun, kebanyakan sopir angkot masih mau menungguu orang lain yang
berjalan di belakang, bahkan sering memundurkan kendaraan untuk menjemput
penumpang. Kontras dengan hal tersebut, di Melbourne Australia, bus berangkat
bila jadwalnya telah tiba meskipun hanya dengan satu atau dua orang penumpang,
atau bahkan tanpa penumpang sekalipun.
Konsep
waktu Polikronik yang mayoritas di anut oleh orang Indonesia jelas sehingga
tercermin dalam istilahnya “jam karet” yang memanggap waktu sebagai sesuatu
yang felksibel atau elastic Time.
Waktu
menentukan hubungan antar manusia. Bagaimana kita meperlakukan atau menggunakan
waktu, secara simbolik menunjukkan seberapa penting diri kita, menunjukan sebagian
dari jati diri kita, dan bagaimana kesadaran kita terhadap lingkungan kita. Jadi
secara simbolik, waktu itu mengandung sebuah pesan, dan kronemika (kronemics)
adalah studi dan interpretasi atas waktu sebagai pesan.
Waktu
sesungguhnya adalah misteri, atau serupa ilusi bahkan mitos, dalam artian bahwa
waktu sesungguhnya tidak mengandung makna apapun, di luar makna yang diberikan
oleh manusia. Nilai sejati waktu adalah bahwa waktu itu harus di isi dengan
perbuatan mulia oleh orang yang masih hidup.
No comments:
Post a Comment