Saturday 15 December 2012

Mari Mengenal Waktu!





Waktu tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi kita, karena dalam kehidupan sehari-hari setiap orang selalu dibatasi oleh waktu. Namun apakah setiap dari kita benar-benar mengenal apa itu waktu?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997), waktu adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan atau keadaan berada atau berlangsung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan atau kejadian, atau bisa juga  merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian. Skala waktu diukur dengan satuan detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, tahun, windu, dekade (dasawarsa), abad, millennium, dan seterusnya.
Edwart T. Hall membedakan konsep waktu menjadi dua, yaitu waktu Polikronik (P) dan waktu monokromatik (M). Penganut waktu polikronik memandang waktu sebagai suatu perputaran yang kembali dan kembali lagi. Mereka cenderung mementingkan kegiatan-kegiatan yang terjadi dalam waktu ketimbang waktu itu sendiri, menekankan keterlibatan orang-orang dan penyelesaian transaksi ketimbang menepati jadwal waktu. Oleh karena itu, penganut waktu P cenderung lebih santai, dapat menjadwalkan waktu berdasarkan beberapa tujuan sekaligus.
Sebaliknya, penganut waktu monokromik (waktu M) cenderung mempersepsi waktu sebagai sesuatu yang berjalan lurus dari masa silam ke masa depan (linier) dan oleh karena itu, mereka memperlakukannya sebagai entitas yang nyata, dan bisa di pilah-pilah, dihabiskan, dibuang, dihemat, dipinjam, dibagi, hilang atau bahkan dibunuh, sehingga menekankan pada penjadwalan dan kesegeraan waktu. Penganut waktu Monokromik (waktu M) ini cenderung waspada terhadap waktu, menghargai waktu, dan membagi-bagi serta menepati jadwal waktu secara ketat, menggunakan satu segmen waktu untuk mencapai suatu tujuan yang pasti.
Setiap budaya memiliki konsepsi dan  kesadaran yang berlainan mengenai waktu. Kebanyakan budaya Timur (terlebih Indonesia), Eropa Selatan (Italia, Yunani, Spanyol, Portugal), dan Amerika Latin menganut konsepsi waktu P. Sedangkan konsepsi waktu Monokromatik (M) kebanyakan dianut oleh budaya Barat, Eropa Utara, Amerika Utara, dan Australia.
Karena dipengaruhi oleh konsep waktu M, warga New York, Jepang, Jerman, Swiss, dan Negara lainnya yang kebanyakan warganya penganut konsep M, berjalan cepat bagaikana dikejar setan, kontras dengan kebanyakan warga masyarakat di Indonesia yang kebanyakan lebih senang berjalan santai, karena di pengauhi oleh waktu P. Cara berjalan mahasiswa di kampus-kampus di Negara yang mayoritasnya penganut konsep waktu M pun berbeda dengan cara jalan mahasiswa di kampus-kampus Indonesia. Contoh, Ketika mahasiswa Amerika berjalan lalu bertemu dengan kawannya saat berjalan, ia mengatakan “Hello” atau “Hi” lalu mengobrol beberapa menit dan bergegas ke perpustakaan untuk belajar atau ke pondokannya untuk mengerjakan tugas. Sedangkan kebanyakan mahasiswa Indonesia terlihat lebih sering mengobrol panjang sambil berjemur di pelataran kampus.
Bagi penganut waktu M, keterlambatan dalam sebuah pertemuan, dianggap sebagai sebuah penghinaan. Dalam mereka, ketepatan waktu mengkomunikasikan penghormatan. Namun dalam beberapa budaya lain, ketepatan waktu justru bisa menjadi sebaliknya.
Maka apa yang dinamakan dengan keterlambatan dan toleransi terhadap keterlambatan itu memanglah bervariasi dari suatu budaya ke budaya. Dalam budaya di Indonesia, keterlambatan itu bervariasi dari suatu situasi dengan situasi lainnya. Kuliah mahasiswa, seminar dosen, dan rapat pimpinan fakultas, dan acara-acara lainnya bisa terlambat hingga satu jam bahkan mungkin lebih. Orang berstatus lebih tinggi biasanya lebih di toleransi untuk dapat datang terlambat.
Itulah, kebanyakan bangsa Timur, terlebih Indonesia memandang waktu dengan konsepsi P, yaitu sebagai sesuatu yang tidak terinterupsi, tanpa perubahan yang penting, jadi tidak terobsesi dengan jadwal waktu dan tidak memilah-milahnya secaraa ketat. Barangkali karena konsep waktu P itu jugalah kebanyakan orang Indonesia tidak dapat memahami makna antre yang merupakan salah satu perwujudan konsep waktu M.
Realitas lainnya, kebanyakan sopir bus di negera indonseia tidak menjadwalkan waktu berangkat secara ketat, bus di kita kita baru berangkat bila kendaraan sudah penuh sesak. Kalaupun sopir bus berbgegas dan bus di pacu dengan sangat cepat, jarang sekali hal tersebut dilakukan untuk menepati jadwal waktu, melainkan karena mereka dikejar setoran.
Di Indonesiapun, kebanyakan sopir angkot masih mau menungguu orang lain yang berjalan di belakang, bahkan sering memundurkan kendaraan untuk menjemput penumpang. Kontras dengan hal tersebut, di Melbourne Australia, bus berangkat bila jadwalnya telah tiba meskipun hanya dengan satu atau dua orang penumpang, atau bahkan tanpa penumpang sekalipun.
Konsep waktu Polikronik yang mayoritas di anut oleh orang Indonesia jelas sehingga tercermin dalam istilahnya “jam karet” yang memanggap waktu sebagai sesuatu yang felksibel atau elastic Time.
Waktu menentukan hubungan antar manusia. Bagaimana kita meperlakukan atau menggunakan waktu, secara simbolik menunjukkan seberapa penting diri kita, menunjukan sebagian dari jati diri kita, dan bagaimana kesadaran kita terhadap lingkungan kita. Jadi secara simbolik, waktu itu mengandung sebuah pesan, dan kronemika (kronemics) adalah studi dan interpretasi atas waktu sebagai pesan.
Waktu sesungguhnya adalah misteri, atau serupa ilusi bahkan mitos, dalam artian bahwa waktu sesungguhnya tidak mengandung makna apapun, di luar makna yang diberikan oleh manusia. Nilai sejati waktu adalah bahwa waktu itu harus di isi dengan perbuatan mulia oleh orang yang masih hidup.

No comments:

Post a Comment