Sunday 23 December 2012

Psikolog?

Gara-gara Status ku di Facebook yang bunyinya :
"terlintas dalam pikiran tentang "apa ia (saya) butuh psikolog?"
ternyata mengundang berbagai tanggapan dari orang-orang yang peduli pada ku. kepedulian terlihat dari sempatnya mereka meluangkan waktunya untuk mengomentari status ku tersebut di kolom komentar. hm.. kalau tidak salah, ada 5 orang yang mengomentari status tersebut. ada yang hanya memberikan komentar singkat berupa :

"oh ya",
"oh iyaa",
"udah gila ya, hahaha",
"semua orang butuh psikolog sebenernya",

dan yang paling mengejutkan adalah komentar dari bu Tuti Mulyaningsih, yaitu mamahnya ka Adit. Ibu lah yang berkomentar paling panjang lebar dibandingkan yang lain. Begini bunyi komentarnya :

"Sebelum ke Psikolog, apa yang ada dalam pikiran atau unek-unek maupun masalah.. bicara dari hati ke hati dengan orang terdekat yang nyaman diajak bicara, siapa saja.. pasti ada jalan keluarnya ok? nikmati hidup apa adanya.. ikuti air mengalir, semua ada yang mengatur, Yang di Atas"

tapi apasih motif kamu menulis status itu fik?
mungkin itulah pertanyaan yang menggantung di benak mereka, juga ka Adit.

**
hmm jadi begini ceritanya....
dalam beberapa minggu terakhir ini, aku merasa kehidupanku mendadak menjadi sangat anomali atau sangat tidak normal. Pemikiran-pemikiranku yang tidak karuan mengenai ini itu begitu berkeliaran tak bisa aku bendung. Aku mulai tersadar, di beberapa waktu ke belakang aku telah hidup dengan sangat sembarangan.

Karena aku merasa mempunyai banyak kesalahan-kesalahan dalam hidup, aku menjadi takut dengan kesalahan-kesalahan yang pernah aku buat tersebut. tentu itu baik, karena aku menjadi sadar diri. Namun  ternyata, lama kelamaan aku menjadi sangat mengkritisi diriku selalu, hampir setiap waktu, hingga rasanya dalam setiap kegiatan atau aktivitas yang aku lakukan, tidak ada benar-benarnya sama sekali, masih saja salah. Padahal aku sudah bertekad untuk melakukan dengan hati-hati, dengan sebaik mungkin karena aku ingin berubah, atau lebih tepatnya ingin (cepat berubah).
Hmm menjadi sangat perfeksionis.

Aku resah, gelisah. Makan tidak berasa benar-benar enak, tidurpun tidak benar-benar nyenyak. untuk tidur, aku bisa tidur sangat awal, tidak seperti biasanya. Aku juga bisa tidur sangat melampaui waktu biasanya, bahkan hanya beberapa jam saja.

Aku tertekan.
Semacam ada yang mencekikku (entah apa), kepalaku berat, was-was, takut begini takut begitu, takut salah melulu. huff cape pokoknya, dan susah di jelaskan secara rinci atau mendetail mengenai rasa-rasa yang tidak nyaman tersebut!

Terlebih, untuk saat ini aku juga merasa tidak mempunyai seorangpun yang bisa aku jadikan tempat untuk curhat atau mengeluh. "Gengsi!" pikirku. Bila curhat dan mengeluh pada teman-teman kampusku, sudah dipastikan mereka akan menanggapinya dengan sebuah kata penuh makna yakni "Absurd" ya, "Fika Si Absurd" begitulah kadang mereka menyebutku, sebutan yang awalnya hanya sekedar becandaan tersebut, tapi lama kelamaan aku takut mendapatkan predikat itu lagi. Oleh karena itu aku menjadi tidak terlalu terbuka lagi kepada mereka, juga kepada orang-orang di sekelilingku.

Oh ia, Sempat terlintas dalam benakku untuk curhat atau mengeluh pada orang tua atau lebih tepatnya mamah, tapi aku tau, mamah saja mempunyai banyak masalah ini itu, terlebih pekerjaan. ah, aku takut membebani mereka, hingga aku putuskan untuk menyimpan sendiri perasaan-perasaan yang tidak nyaman tersebut. nanti juga baik dengan sendirinya, pikirku. akupun menyibukkan diri dengan ini itu, agar tidak merasakannya.

---
Namun berasa nihil.
---

lalu.. hingga di sabtu pagi kemarin (22 Desember), ketika aku menghabiskan waktu pagi hingga siang sekitar di perpustakaan ITB, entah kebetulan atau bagaimana, aku menemukan buku ini : ....


Judulnya adalah :
"Terapi Kognitif Untuk Depresi dan Kecemasan, Suatu Petunjuk Praktis Bagi Praktisi"
kondisi bukunya sudah agak lusuh, karena itu termasuk buku lama. Saat aku lihat tahun cetakannya adalah tahun 1991. "wah tahun segitu, aku saja belum lahir", pikirku.

Rasa penasaran mengenai isi buku tersebutlah yang membuatku akhirnya membuka lembar demi lembar isi buku. Saat melihat daftar isi, aku tertarik untuk langsung membaca Bab 5, yaitu mengenai "Keuntungan Hidup dan Mati". Judul yang nyentrik menurutku.

secara singkat bab tersebut memaparkan tentang bagaimana cara praktisi (dalam hal ini yaitu psikolog) saat harus menghadapi pasiennya yang punya pemikiran untuk mati, karena merasa tidak akan kuat menanggung beban mental yang dirasakannya dalam kehidupan.

jika pasien merasakan demikian, maka psikolog harus dengan perlahan mengajak pasien menganalisis mengenai keuntungan hidup, keuntungan mati, kerugian hidup, dan kerugian mati. begini.. begitu.. bla, bla, bla.. banyak yang dibahas, dan seru!

Membaca pemaparan tersebut, aku mendapat sedikit pencerahan, sebab saat memiliki masalah-masalah yang sebenarnya disebabkan oleh diri sendiri, aku sempat merasa bahwa aku lebih baik mati saja, hidup juga begini-begini saja. Salah lagi salah lagi.

Namun tentu saja, pemikiranku untuk mati tersebut tidak benar-benar serius, sebab aku masih bisa berpikir secara rasional. Aku masih bisa menyadarkan diri bahwa beban kehidupan yang aku rasakan saat ini tidak ada apa-apanya dengan yang lain.

Setelah cukup puas membaca bab5 tersebut, lalu aku mundur ke bab 2 (kalau tidak salah). disitu di paparkan mengenai definisi serta ciri-ciri Depresi dan Kecemasan. Wah, lagi-lagi... bacaan tersebut membuatku menganalisis diri, dan well, akupun harus mengakui bahwa ternyata saat-saat tertekan kemarin-kemarin itu adalah penyakit psikologis bernama Depresi dan Kecemasan.

--

huuuuuf...
oh ternyata memang benar bahwa aku sakit. Sakit psikologis, yaitu Depresi dan dilanda Kecemasan. Sayang, buku tersebut tidak dapat aku baca lebih banyak lagi, sebab pada hari sabtu, perpustakaan ITB hanya buka setengah hari, yaitu sampai pukul 1 siang. Saat itu sudah sekitar pukul 12 lebih.

hmm.. Tapi senangnya ada yang bisa aku bawa pulang dari kunjungan ke perpustakaan ITB sabtu kemarin itu. Semoga bermanfaat dan sepertinya memang bermanfaat untukku.

akupun pulang ke kosan dengan perasaan yang cukup lega, tidak terlalu merasakan depresi dan kecemasan seperti sebelum-sebelumnya.

saat dikosan...
aku kembali berpikir. Ternyata tanpa sadar, aku menjadi terlalu berorientasi pada pencapaian, aku berasa dikejar waktu, sehingga ingin ini dan itu dalam waktu yang relatif bersamaan, terlalu terfokus pada tujuan dan mengenyampingkan nikmatnya menikmati proses.

Sadar akan hal tersebut, tidak lagi membuatku membuang-buang waktu dengan melamun. Aku mulai membuka lembar kerja digitalku (latopku) dan mulai mencoba meneruskan tulisan untuk buku ku. Dan saat mengumpulkan bahan-bahan untuk tulisan dari berbagai buku, secara kebetulan dan yang pasti direncanakan oleh Allah, aku menemukan tulisan di bawah ini yang dikutp dari Bukunya Idi Subandy berjudul Kecerdasan Komunikasi :

"Kita hidup didalam masyarakat yang kian berorientasi tujuan (goal oreinted), yang menginginkan pemecahan masalah saat ini juga. Kita begitu terobsesi dengan hal-hal yang serba-seketika. Kita mulai menjadi mahluk yang mengutamakan hasil ketimbang proses. Namun kita sedikit terhenyak ketika menyadari, ternyata hidup adalah suatu perjalanan tiada henti dalam menemukan diri (self discover) dan memenuhi-kepribadian (self fulfilment)."

berangkat dari aktivitas membaca tersebutlah, aku mendapat pencerahan demi pencerahan, yang akhirnya terbesit dalam pikiranku "apa ia (saya) butuh psikolog?". aku rasa aku memang membutuhkan psikolog, atau yaa.. yang seperti disebutkan Ibu yakni yang aku butuhkan adalah "orang terdekat yang nyaman diajak bicara, siapa saja.."
tapi kenyamanan berbicara atau bercerita ternyata tidak melulu harus dengan orang lain. berbicara dengan (ber-kata) seperti ini-disini pun, dapat membantuku mengurangi ketegangan akibat penyakit psikologisku tersebut.

Sekarang Rasanya unek-unek sudah keluar!
Hmm.. Semoga cepet sembuh dari ke absurd-an nya fika!
get well now or soon!
:*

No comments:

Post a Comment